Di tengah kemajuan teknologi dan pertanian modern, dunia menghadapi paradoks besar: produksi pangan global sebenarnya sudah cukup untuk memberi makan seluruh penduduk bumi, tetapi jutaan orang masih hidup dalam kelaparan. Masalahnya bukan pada jumlah pangan yang dihasilkan, melainkan pada ketimpangan dalam akses, distribusi, dan kualitas pangan di berbagai wilayah.
Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World (SOFI) 2024 yang diterbitkan oleh FAO, IFAD, UNICEF, WFP, dan WHO menunjukkan bahwa antara 638 hingga 720 juta orang, atau sekitar 7,8–8,8 persen penduduk dunia, masih mengalami kelaparan kronis. Selain itu, lebih dari 2,3 miliar orang menghadapi ketidakamanan pangan moderat hingga berat, artinya mereka tidak selalu memiliki akses yang stabil terhadap makanan bergizi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ketimpangan pangan telah menjadi isu struktural yang melintasi batas negara. Negara-negara dengan ekonomi maju umumnya memiliki sistem produksi dan distribusi pangan yang efisien, sementara banyak negara berkembang masih bergantung pada pertanian tradisional yang rentan terhadap cuaca ekstrem dan gejolak harga. Akibatnya, masyarakat di wilayah tertentu kesulitan memperoleh pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Ketimpangan juga tampak nyata di dalam satu negara. Di banyak wilayah pedesaan dan pesisir, harga bahan makanan pokok sering kali lebih mahal dibandingkan kota besar karena terbatasnya infrastruktur distribusi. Biaya transportasi, logistik, serta keterbatasan penyimpanan pangan membuat masyarakat di daerah terpencil semakin rentan terhadap kenaikan harga dan kelangkaan pangan.
Selain kuantitas, kualitas pangan juga menjadi bentuk ketimpangan yang jarang disadari. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah cenderung hanya mampu membeli makanan berkarbohidrat tinggi namun miskin mikronutrien. Kondisi ini memunculkan fenomena hidden hunger yaitu kelaparan tersembunyi yang ditandai dengan kekurangan zat gizi penting seperti zat besi, vitamin A, dan yodium.
Ketimpangan pangan juga diperparah oleh perubahan iklim. Laporan FAO Climate and Food Security 2024 menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian paling dirasakan oleh petani kecil, terutama di negara berkembang. Produksi yang menurun akibat banjir, kekeringan, atau cuaca ekstrem memperbesar kesenjangan antara petani kecil dan industri pertanian berskala besar.
Di sisi lain, dunia menghadapi ironi besar dalam bentuk pemborosan pangan. Menurut data terbaru FAO dan PBB, sekitar sepertiga dari seluruh pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang setiap tahunnya, setara dengan sekitar 1,3 miliar ton makanan. Sekitar 13–14 persen hilang di rantai pasok dari panen hingga ke ritel, sementara 17–19 persen terbuang di tingkat ritel dan rumah tangga.
Jika kehilangan dan pemborosan pangan dapat ditekan separuhnya saja, diperkirakan cukup untuk memberi makan lebih dari satu miliar orang setiap tahun. Karena itu, pengurangan food loss dan food waste merupakan bagian penting dari upaya global mengatasi ketimpangan pangan, sekaligus langkah konkret untuk memperkuat keberlanjutan sistem pangan dunia.
Ketimpangan pangan tidak hanya berdampak pada kesejahteraan, tetapi juga pada stabilitas sosial dan ekonomi. Masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar lebih rentan terhadap kemiskinan, gangguan kesehatan, dan konflik sosial. Dalam konteks ini, pemerataan akses terhadap pangan bergizi merupakan bagian penting dari pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, banyak negara kini mulai menekankan pembangunan sistem pangan yang inklusif dan berkeadilan. Strateginya meliputi memperkuat rantai pasok lokal, memperluas infrastruktur distribusi ke wilayah terpencil, memberi dukungan teknologi dan pembiayaan bagi petani kecil, serta memastikan kebijakan pangan berpihak kepada kelompok rentan.
Selain kebijakan pemerintah, partisipasi masyarakat juga sangat penting. Kesadaran untuk mengonsumsi pangan lokal, membeli secukupnya, dan mengurangi pemborosan makanan dapat membantu menciptakan sistem pangan yang lebih adil. Konsumen memiliki kekuatan besar untuk mendorong perubahan, setiap pilihan belanja yang bijak merupakan langkah kecil menuju pemerataan pangan.
Pendidikan gizi sejak usia dini, inovasi pertanian berkelanjutan, dan kolaborasi antar sektor menjadi kunci untuk membangun masa depan pangan yang lebih baik. Dunia membutuhkan sistem pangan yang tidak hanya efisien dalam produksi, tetapi juga adil dalam distribusi dan berkelanjutan bagi lingkungan.
Pada akhirnya, mengatasi ketimpangan pangan membutuhkan kerja bersama dari petani hingga pembuat kebijakan, dari produsen hingga konsumen. Dengan langkah yang terkoordinasi dan saling mendukung, dunia dapat bergerak menuju masa depan di mana pangan bukan sekadar komoditas, melainkan hak dasar setiap manusia.