Bagian 3: Sumbang Diam dan Sumbang Bajalan
Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Setelah sebelumnya kita membahas dua aspek penting dalam Sumbang Duo Baleh, yakni sumbang duduk yang mengatur adab saat berada di tengah pergaulan, serta sumbang tagak yang menyentuh sikap dan keteguhan dalam bertindak, kini pembahasan berlanjut pada dua sumbang lainnya yang tak kalah penting “sumbang diam dan sumbang bajalan”. Keduanya mengatur tata laku perempuan Minangkabau dalam hal bermukim dan bepergian, dua hal yang tampak sepele, namun sesungguhnya sarat nilai moral, adat, dan tuntunan agama.
Hal ini selaras dengan pandangan adat Minangkabau yang menempatkan perempuan bukan hanya sebagai penyangga kehormatan keluarga, tetapi juga penjaga marwah adat. Karena itulah, setiap gerak dan diamnya diatur dengan penuh kehati-hatian dan kebijaksanaan. Sumbang diam dan sumbang bajalan menjadi dua dari Sumbang Duo Baleh yang menyentuh aspek paling personal dalam kehidupan perempuan, bagaimana ia menempatkan diri di ruang tinggal (Sumbang diam), dan bagaimana ia bersikap saat melangkah ke luar (Sumbang Bajalan).
Lebih dari sekadar larangan atau aturan turun-temurun, keduanya merupakan penjaga nilai, pelindung harga diri, dan perisai dari fitnah yang bisa mencoreng kehormatan. Di tengah dunia yang kian terbuka dan serba bebas, dua sumbang ini mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukan berarti tanpa batas, melainkan kebebasan yang dipagari oleh adab dan tanggung jawab.
Dalam adat Minangkabau, perempuan bukan hanya penyangga kehormatan keluarga, tapi juga penjaga marwah adat. Karena itu, segala tindak-tanduknya diatur dengan rapi dan penuh kehati-hatian. Dua dari Sumbang Duo Baleh, yakni sumbang diam dan sumbang bajalan, menyentuh ruang paling personal dalam kehidupan perempuan, tempat ia tinggal dan cara ia melangkah.
Keduanya bukan sekadar aturan adat melainkan penjaga nilai, pelindung harga diri, dan perisai dari fitnah yang bisa mencoreng kehormatan. Di tengah dunia yang kian terbuka dan serba bebas, dua sumbang ini memberi penanda bahwa kebebasan sejati adalah yang tetap berpagar adab.
Sumbang Diam “Ketika Tinggal Menuntut Etika”
Sumbang diam adalah sumbang yang terjadi ketika seorang perempuan baik gadis maupun istri bermukim di tempat yang secara sosial, moral, dan agama dipandang tidak patut. Misalnya, tinggal seorang diri di rumah laki-laki lain tanpa pendamping, bermalam di tempat duda tanpa kehadiran perempuan lain, atau menetap di rumah orang yang bukan keluarga dekat.
Tak hanya itu, tinggal berdua dengan ayah tiri atau ayah kandung tanpa kehadiran orang lain, atau bahkan sekadar masuk kamar orang tua atau orang lain tanpa alasan penting dan izin, juga termasuk kategori ini. Semua bentuk itu dianggap melanggar tatanan kesopanan karena membuka ruang bagi prasangka, fitnah, dan bahkan godaan syahwat.
Pandangan ini sejalan dengan syariat Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) kecuali disertai mahram wanita tersebut.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Karena yang ketiga di antara mereka adalah setan.”
Islam memberi peringatan keras untuk tidak membuka celah pada perbuatan keji. Sebab, khalwat berduaan antara pria dan wanita non-mahram adalah pintu gerbang zina. Allah SWT dengan tegas melarang dalam Al-Qur’an “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra: 32)
Dengan kata lain, adat dan agama bertemu dalam satu napas, menjaga kehormatan diri adalah kewajiban yang tak boleh ditawar.
Sumbang Bajalan “Ketika Langkah Harus Dijaga”
Jika sumbang diam berbicara tentang etika menetap, maka sumbang bajalan adalah petuah dalam bertindak kala bepergian. Dalam adat Minang, sangat dipandang tidak pantas bagi perempuan untuk berjalan berduaan dengan laki-laki yang bukan suami atau muhrimnya, apalagi dalam perjalanan jauh yang menyerupai perjalanan suami-istri.
Sumbang pula bagi perempuan yang bepergian sendirian di malam hari, yang melangkah dengan tergesa tanpa sebab jelas, atau yang terlalu sering menoleh dan mempertontonkan tubuhnya dengan gaya yang tak wajar. Semuanya dinilai sebagai pelanggaran terhadap tata laku perempuan Minangkabau yang menjunjung tinggi rasa malu dan kesantunan.
Islam pun menegaskan hal serupa disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar sehari semalam tanpa disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 1088 dan Muslim, no. 1339). Ini bukan bentuk pengekangan, melainkan perlindungan. Dunia luar menyimpan banyak bahaya dan fitnah, dan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin ingin perempuan selamat lahir batin.
Refleksi Hari Ini “Antara Kebebasan dan Kehormatan”
Di tengah semangat kesetaraan dan kebebasan perempuan masa kini, sumbang diam dan bajalan mungkin terdengar kuno. Namun jika direnungkan lebih dalam, keduanya justru menyimpan kearifan yang amat relevan. Dalam masyarakat yang penuh sorotan digital dan cepat menghakimi, menjaga diri dari situasi yang rawan salah tafsir menjadi bentuk kecerdasan sosial dan spiritual.
Perempuan Minang tidak dilatih untuk takut melangkah, tapi diajarkan agar tahu ke mana dan bagaimana melangkah. Tidak dilarang menetap di mana saja, tapi diminta untuk bijak memilih tempat tinggal. Sebab, kehormatan bukan hanya dijaga oleh niat baik, tetapi juga oleh penampilan dan situasi yang terlihat oleh mata masyarakat.
Sumbang diam dan bajalan mengingatkan kita bahwa adat bukanlah jerat, melainkan pelita penunjuk arah agar perempuan Minang tetap menjadi lambang harga diri dan kekuatan adat. Dalam diam ada marwah, dalam perjalanan ada batas. Dan di antara keduanya, berdirilah perempuan yang terjaga.