Sejarah Pitih Kambang
Oleh: Haridman
Di Pesisir Selatan, tepatnya di Lengayang pernah berlaku mata uang yang disebut "Oeang Lengayang" atau pitih kambang. Satu satunya di Sumatera Barat dimasa lalu ada daerah yang mencetak mata uang sendiri. Ada 25 orang tokoh pembuat uang tersebut, namun kini dari 25 orang tokoh, hanya Rusli Nur yang masih hidup.
Tinggal di Padang Marapalam Lakitan, Rusli Nur, menuturkan panjang lebar soal pitih kambang tersebut. Dimulainya dari perjuangan Kemerdekaan NKRI. Selama perang Kemerdekaan 1945 – 1949, perjuangan berlangsung ditengah tengah kemiskinan akibat penjajah. Sementara dana untuk membiayai perang kemerdekaan melawan penjajah sangat minim. Rakyat yang miskin terus bahu membahu mendukung para BKR.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kenagarian Kambang dan Lakitan terpisah dari Balai Selasa menjadi Otonom. Di zaman Belanda dan Jepang segala urusan harus ke Balai Selasa misal Pos, Telephon, Pengadilan dan lainnya. Ketika berpisah menjadi otonom berdirilah Kecamatan Lengayang dengan Wali Otonomnya Husin St Ibrahim.
Dimasa Revolusi fasik, pemerintahannya berwujud militer, tidak seperti sekarang, ketika itu pemerintahan memang terkesan angker, berwibawa, menakutkan dan represif. Bayangkan saja Gubernur disebut Gubernur Militer, Bupati disebut Bupati Militer, Camat Militer dan lebih hebatnya ditingkat nagari, Walinya disebut Wali Perang.
Maka nagari Kambang Wali Perangnya Makripat Umar St. Ibrahim. DHN : H. M.Nur, Buya Dinar Khatib Sulaiman, Jamar Rajo Sutan, Syabirin, Zuki Bgd Sulaiman, H. Abdul Manan. Sementara DHN Lakitan Syuib Maha Rajo, Tamar Mandaro Basa, Makrifat Umar St. Ibrahim, Naru Lukman, Berok, Djair Khatib Mulia. Orang inilah yang membantu jalannya roda pemerintahan di Lengayang.
Kita telah mewarisi pemerintahan yang miskin dari tangan Jepang, keuangan minus, rakyat melarat, persoalannya adalah dengan apa para penyelenggara pemerintah seperti pegawai, tentara, polisi digaji. Meminta kepada rakyat tidak mungkin rakyat sudah sengsara dan miskin. Maka dengan keputusan DHN dibentuklan Badan Penolong Kesengsaraan Korban Perang (BPKKP). Ketua BPKKP H. M.Nur, Sekretaris dan keungan Djamar Rajo Sutan. Petugas retribusi di Kambang Kirin Sutan Mangkudun dan di Lakitan Ilyas Bandaro Itam.
Maka dicetaklah karcis Rp. 10 dan Rp 5. Stempel dibuat oleh Syamsul Bahri dan dicetak oleh Rusli Nur di Koto Kandih. Setiap orang yang membawa minyak goreng satu kaleng dikenakan retribusi Rp 10, Rokok nipah satu beban Rp 10, garam halus satu sumpit Rp 10, ikan kering 1 sumpit Rp 10. Barang barang ini dujual ke Muara Labuh.
Setelah berjalan beberapa bulan, dana itu tidak memadai, maka dengan keputusan DHN dicetaklah wang Lengayang dengan nilai Rp 10 dan Rp 5. Ketua percetakan dipercayai kepada Yunus Rang Batuah, Sekretaris Erman, Bendahara Dinar Khatib Sulaiaman. Uang Lengayang tersebut mulai dicetak pada Bulan Desember tahun 1948 dirumah Tinta.
Setelah Agresi Belanda ke II, 19 Desember 1948 percetakan pindah ke Koto Kandis dirumah M.Nur, kemudian rumah tersebut dibakar Belanda akibat dihadang Gabungan Tentara Indonesia dekat Lubuk Aguang dalam upaya menggagalkan gerakan pasukan Belanda ke Koto Pulai.
Akibat huru hara, percetakan dialihkan ke Sari Bulan Koto Pulai, tepatnya dirumah Marusat. Setelah merasa aman percetakan pindah ke Koto Pulai dirumah Lagak. Bendahara saat itu dipegang Barai Subanda. Tak berapa lama percetakan uang dipindahkan ke rumah Siah (Kini sudah di pugar) masih di Koto Pulai.
Untuk urusan cetak mencetak uang maka dibentuk pula pengurus. Ketua : Junui Rang Batuah, Sekretaris : Erman, Keuangan / Bendahara : Buya Dinar Khatib Sulaiman, Umar Tuanku Kambang, Barai Subanda. Anggota adalah: Syamsul Bahri (Pembuat Stempel), Rusli Nur, Bakri, Gaek Raden Sulaiman, Zulkifli, Zubir, Agus Ilyas, Amir Hamzah, Abd Karim, Lukman, Tirin, Marsik, Abd. Rahman, Katik, Junit, Jurutulis, Nursamah, Nurdjanah, Awin, Burhan
Komandan militer di Kambang Zulkifli alias Zoro, wakil Nahar dan M. Taher. Disurantih Alam, Ditapan Mansur Samik dan Munir Ahmad di Bayang Muhni Zen dan dan Munir Kasim. Orang inilah yang selalu datang mengambil uang kepercetakan. Artinya uang Lengayang tidak hanya menjadi alat tukar di Lengayang, akan tetapi hampir seluruh Kecamatan di Pesisir Selatan.
Mencetak Uang Republik Indonesia Pembayaran Sementara (U.R.I.P.S)
Setelah tentara Belanda menduduki Sungai Penuh / Kerinci, Bupati PSK (Pesisir Selatan dan Kerinci) bersama staff Mayor Alwi Sutan Marajo dengan pasukannya Singa Barantai, menyingkir ke Kurao Balai Selasa. Saat Kurao dimasuki Belanda, Bupati Aminuddin St Syarif, Mayor Alwi dan pasukan GATI bersama kekuatan yang ada melakukan dislokasi ke Koto Pulai. Hal ini menambah berat beban pemerintah, terutama dalam hal pembiayaan perjuangan. Percetakan uang Lengayang ketika itu sudah berhenti.
Berdasarkan pada instruksi Gubernur Militer Sumatera Barat no 15 tanggal 19 Januari 1949 yang memberi mandat kepad Bupati, maka bupati militer PSK mencetak uang Kabupaten sebagai pengganti uang Lengayang yang dikenal dengan URIPS dan berlaku untuk PSK. Uang Kabupaten PSK dicetak dengan nominal atau pecahan Rp. 50 dan Rp 25. URIPS berlaku sampai cease fire order (perintah penghentian tembak menembak).
Berbeda dengan uang Lengayang yang dicetak dengan stempel maka URIPS dicetak dengan stensil diatas kertas HVS. Untuk mendapatkan kertas ini, ditugaskan Abu mencarinya ketanah tumbuh.
Personil yang bertugas dalam pencetakan URIPS adalah semua personil yang mengerjakan pencetakan Uang Lengayang, kecuali bagian keungan yang semula Barai Subanda diganti dengan Burhanuddin.
Saat URIPS mulai beredar, ditangan rakyat masih beredar uang Lengayang. Ini adalah sebuah masalah baru. Supaya rakyat tidak dirugikan, maka pemerintah Kabupaten PSK mengirim utusan yang terdiri dari M. Nur, Lukman Rajo Mansyur, menemui pemerinta PDRI/Gubernur militer di Abai Sangir untuk meminta supaya dapat menarik uang Lengayang yang ada ditangan rakyat dan mengganti dengan URIPS. Utusan ini tidak berhasil sampai ke Abai Sangir, karena Muara Labuh dan Lubuk Gadang sudah diduduki Belanda, jalan ke Abai Sangir tertutup. Utusan kembali ke Koto Pulai dengan selamat namun dengan kekecewaan.
Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. Kolonel Dahlan Djammbek dan Mayor Alwi datang ke Koto Pulai, menjelaskan kepada rakyat bahwa rakyat bolehg pulang kerumah masing masing.
Sementara itu uang Lengayang dan URIPS masih beredar ditengah rakyat. Suatu kejadian yang disesalkan adalah keluarnya ultimatum pemerintah tentang tidak berlakunya uang Lengayang secara mendadak pada hari Kamis (hari Pasar di Koto Baru), sehingga rakyat yang telah menjual hasil tani dengan uang Lengayang tidak dapat berbelanja. Karena kecewa dan kesal mereka mereka menghancurkan Uang Lengayang yang ada. Itulah sebabnya untuk mendapatkan lembaran uang lengayang untuk dokumentasi sangat sulit, sebab tidak ada rakyat yang menyimpannya.(03)