Ketika mendengar “Sumpah Pemuda”, pikiran kita mungkin langsung tertuju pada tiga ikrar monumental yang diucapkan pada 28 Oktober 1928. Namun, di balik peristiwa besar itu, ada peran penting media massa zaman kolonial yang menjadi jembatan antara para pemuda dan rakyat luas. Tanpa keberanian para jurnalis dan surat kabar kala itu, semangat persatuan mungkin tak akan cepat menggema ke seluruh pelosok Hindia Belanda.
Pada awal abad ke-20, media massa sudah mulai tumbuh pesat di Hindia Belanda. Meskipun masih terbatas, surat kabar dan majalah menjadi alat penting untuk menyebarkan gagasan kebangsaan. Beberapa di antaranya bahkan berani menentang kebijakan pemerintah kolonial, walau berisiko mendapat sensor atau hukuman.
Media seperti Sin Po, Soeara Oemoem, Tjahaja Timoer, hingga Bintang Hindia menjadi wadah bagi kaum terpelajar dan aktivis muda menyuarakan ide tentang “persatuan” dan “kebangsaan” — dua kata yang sangat sensitif di masa penjajahan. Melalui tulisan-tulisan opini, berita kegiatan, dan laporan kongres, semangat persatuan yang dibangun oleh para pemuda semakin meluas.
Salah satu media paling berani kala itu adalah harian Sin Po, surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa yang berbasis di Batavia. Sin Po mencatat sejarah dengan menjadi media pertama yang mempublikasikan teks lengkap “Sumpah Pemuda” pada 30 Oktober 1928, hanya dua hari setelah kongres.
Hal ini sangat penting, karena belum ada media lain yang berani menulis secara gamblang tentang “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia” — sebuah gagasan yang saat itu dianggap berani, bahkan bisa memicu kemarahan pemerintah kolonial.
Langkah Sin Po menunjukkan bahwa pers di masa itu bukan hanya sekadar penyampai berita, melainkan bagian dari pergerakan nasional. Wartawan tidak hanya memegang pena, tapi juga idealisme.
Setelah teks Sumpah Pemuda diterbitkan, berita itu menyebar cepat ke berbagai daerah melalui jaringan media dan surat kabar lain.
Para pembaca dari Bandung, Surabaya, Medan, hingga Makassar mulai mengenal istilah “Indonesia” sebagai identitas bersama. Di sinilah kekuatan media menunjukkan perannya: menyatukan gagasan yang tadinya hanya terbatas di ruang kongres menjadi gelombang kesadaran nasional yang masif.
Meski kini zaman telah berubah, semangat media masa 1928 tetap relevan. Di era digital, jurnalis modern menghadapi tantangan baru: banjir informasi, hoaks, dan polarisasi. Namun, tugas dasarnya tetap sama — menyuarakan kebenaran dan memperkuat persatuan bangsa.
Perbedaan zaman hanya mengubah alat, bukan makna perjuangan. Jika dahulu jurnalis menulis dengan mesin tik dan kertas koran, kini pesan-pesan kebangsaan bisa menyebar lewat media daring dan media sosial. Namun esensinya tak berubah: media harus berpihak pada kebenaran dan persatuan, bukan pada kepentingan yang memecah belah.
Sumpah Pemuda bukan hanya tentang ikrar tiga kalimat, tapi juga tentang kolaborasi lintas etnis, organisasi, dan gagasan. Tanpa media seperti Sin Po dan kawan-kawannya, mungkin teks itu hanya akan menjadi arsip kecil di Batavia — tidak menjadi sumber inspirasi nasional seperti sekarang.
Para wartawan tempo dulu membuktikan bahwa tulisan bisa menjadi alat perjuangan yang sangat kuat. Dari pena mereka lahir kesadaran, dan dari berita merekalah Indonesia mulai menemukan jati dirinya.
Hari ini, ketika kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, sudah selayaknya kita juga mengenang peran media sebagai saksi sejarah yang menyalakan api persatuan.
Semoga semangat para jurnalis 1928 terus hidup di tangan generasi muda masa kini — yang tidak hanya membaca berita, tetapi juga menciptakan perubahan lewat kata dan karya.