• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Dunia Serba cepat, Awas Technostress !

07 Juli 2025

66 kali dibaca

Dunia Serba cepat, Awas Technostress !

Pernahkah kamu merasa lelah, padahal seharian hanya duduk di depan layar? Atau mendadak marah tanpa sebab yang jelas? Tugas tertunda, konsentrasi buyar, tidur terganggu, dan kepala terasa penuh? Mungkin itu bukan sekadar kelelahan biasa—bisa jadi kamu sedang mengalami technostress.

Apa Itu Technostress?
Istilah technostress pertama kali dikenalkan oleh Dr. Craig Brod, seorang psikolog klinis, pada tahun 1984. Ia menggambarkan technostress sebagai “penyakit modern akibat ketidakmampuan individu untuk beradaptasi secara sehat dengan teknologi komputer.” Manifestasinya bisa dalam dua hal: kesulitan menerima teknologi, atau sebaliknya terlalu melekat dan tergantung padanya.

Dalam keseharian modern, bentuk technostress ini makin kasatmata. Dari bangun tidur hingga malam hari, banyak dari kita tak pernah lepas dari layar. Notifikasi tak kunjung henti, email masuk larut malam, aplikasi pesan singkat yang aktif 24 jam, hingga media sosial yang menjadi panggung pembanding hidup secara tak sadar.

Namun sebelum menyelami lebih jauh, mari pahami dulu makna stres secara umum dari kacamata ilmiah.

Dalam dunia akademik, konsep stres mulai dikaji secara mendalam sejak tahun 1940-an melalui teori Walter Cannon. Salah satu definisi yang diakui luas datang dari Seaward, yang menyebut stres sebagai kondisi ketika seseorang tidak mampu mengatasi ancaman baik dari sisi fisik, mental, emosional, maupun spiritual dan kondisi ini berpotensi mempengaruhi kesehatan secara menyeluruh.

Stres sangat erat kaitannya dengan persepsi individu terhadap suatu situasi. Hal ini ditegaskan oleh Richard S. Lazarus, seorang profesor psikologi asal Amerika Serikat yang dikenal luas sebagai pelopor teori kognitif stres dan coping. Dalam bukunya yang berjudul “Stress, Appraisal, and Coping” (1984), Lazarus menjelaskan bahwa stres tidak semata-mata muncul karena peristiwa eksternal, melainkan karena cara seseorang menilai (appraise) peristiwa tersebut.

Menurutnya, satu stimulus bisa menimbulkan tekanan berat bagi seseorang, namun bisa saja dianggap biasa-biasa saja oleh orang lain. Perbedaan itu terjadi karena masing-masing individu memiliki kerangka berpikir dan persepsi yang berbeda terhadap ancaman atau tuntutan yang datang. Ketika seseorang merasa bahwa tuntutan situasi melebihi kemampuan yang dimilikinya, maka stres pun timbul.

Lazarus menyebut bahwa ketidakmampuan dalam mengelola penilaian ini dapat memicu reaksi emosional negatif seperti frustasi, kecemasan, kemarahan, bahkan sikap apatis. Di lingkungan kerja, stres yang tidak tertangani sering kali memunculkan gejala seperti menurunnya produktivitas, dan memunculkan rasa tidak puas terhadap pekerjaan.

Technostress adalah turunan dari stres, tapi memiliki pemicu yang spesifik: teknologi. Ia bukan hanya tentang ketidakmampuan mengikuti kemajuan teknologi, tapi juga tentang ketergantungan yang berlebihan terhadapnya.

Pernahkah kamu membuka ponsel hanya untuk mengecek pesan, tapi satu jam kemudian malah terjebak dalam lautan konten media sosial dan lupa tujuan awal? Atau saat ingin fokus bekerja, justru perhatianmu terpecah oleh notifikasi yang datang bertubi-tubi? Semua ini adalah gejala kecil technostress yang kerap diabaikan.

Multitasking, yang sering dibanggakan di era digital, ternyata membawa beban tersendiri. Larry D. Rosen, Ph.D., seorang pakar psikologi dari California State University, menjelaskan bahwa multitasking justru memperbesar tekanan fisiologis dalam tubuh. Dalam buku Stop Stress, Brain Detox karya Femi Aulia, dijelaskan bahwa otak yang dipaksa berpindah-pindah fokus secara terus-menerus menjadi lebih rentan mengalami kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, bahkan burnout.

Tak hanya mental, technostress juga merenggut kualitas tidur. Saat seharusnya otak beristirahat, justru banyak dari kita masih menggenggam gawai hingga larut malam. Padahal, tidur berkualitas sangat penting untuk memulihkan tubuh dan pikiran. Sayangnya, blue light dari layar gawai mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur.

Yang lebih memprihatinkan, kita mulai kehilangan keintiman sosial dalam dunia nyata. Makan malam yang dulu menjadi momen berbagi cerita, kini dibungkam oleh layar. Dalam satu meja, bisa jadi semua orang hadir secara fisik, tapi tak benar-benar hadir dalam percakapan.

Technostress bukan akhir segalanya. Kita masih bisa mengendalikannya. Bukan dengan memusuhi teknologi, tapi dengan menjadikannya sebagai alat, bukan tuan.

Beberapa langkah kecil bisa menjadi awal yang menyelamatkan dari jeratan technostress. Mulailah dengan menetapkan waktu khusus dalam sehari sebagai jam bebas gawai, di mana tubuh dan pikiran benar-benar terbebas dari layar. Saat makan atau berbincang dengan orang lain, letakkan ponsel jauh dari jangkauan agar momen kebersamaan tidak terganggu. Hindari juga membawa gawai ke tempat tidur, karena kebiasaan ini sering kali mengganggu kualitas istirahat malam. Selain itu, latihlah diri untuk fokus pada satu hal dalam satu waktu. Multitasking yang dianggap efisien justru bisa melelahkan otak dan menurunkan produktivitas. Dengan membiasakan langkah-langkah sederhana ini, kita sedang membangun pertahanan sehat terhadap tekanan digital yang sering kali tak terlihat, tapi nyata.

Yang kita butuhkan adalah kesadaran. Bahwa hidup yang terkoneksi terus-menerus belum tentu sehat. Bahwa jeda dari layar bukan kemunduran, melainkan bentuk perlindungan terhadap kewarasan kita sendiri.

Teknologi akan terus berkembang—lebih canggih, lebih cepat, lebih pintar. Namun di tengah kemajuan itu, jangan sampai kita kehilangan diri sendiri. Stres boleh jadi tak terhindarkan, tapi technostress bisa dicegah dan dikelola jika kita mau lebih bijak.

Karena menjadi manusia utuh di era digital bukan soal terus online, melainkan tentang tahu kapan harus memutus sambungan untuk kembali terhubung dengan diri dan sesama.