Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober menjadi pengingat penting bagi dunia bahwa kesehatan mental sama berharganya dengan kesehatan fisik. Tahun ini, tema peringatan tersebut mengangkat pesan tentang pentingnya empati sosial dan kepedulian terhadap sesama yang tengah berjuang menghadapi tekanan mental. Di tengah kemajuan teknologi, perubahan sosial, serta kompetisi hidup yang semakin ketat, generasi muda menjadi kelompok paling rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa. Fenomena ini tidak hanya menuntut perhatian individu, tetapi juga tanggung jawab sosial dari seluruh lapisan masyarakat untuk membangun ekosistem yang lebih sehat secara mental dan emosional.
Kesehatan jiwa kini menjadi salah satu isu global yang paling banyak dibicarakan. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1 miliar orang di dunia mengalami gangguan mental, dan sebagian besar tidak mendapatkan perawatan yang memadai. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat peningkatan signifikan kasus depresi, kecemasan, serta stres berat, terutama pada kelompok usia produktif dan remaja. Ironisnya, masih banyak masyarakat yang menganggap kesehatan mental sebagai hal tabu, bahkan cenderung mengabaikan tanda-tanda awal gangguan psikologis. Stigma seperti “lemah,” “tidak bersyukur,” atau “kurang iman” masih kerap dilekatkan pada mereka yang sedang berjuang dengan masalah mental.
Tekanan hidup di era modern menjadi faktor besar yang memperburuk situasi ini. Generasi muda kini hidup dalam dunia yang penuh tuntutan: ekspektasi akademik yang tinggi, persaingan pekerjaan yang ketat, tekanan ekonomi keluarga, serta standar sosial yang kerap dibentuk oleh media digital. Media sosial, misalnya, menciptakan ruang yang paradoksal. Di satu sisi, ia memberi peluang untuk berekspresi dan terhubung, namun di sisi lain, menjadi sumber kecemasan sosial dan rasa tidak cukup. Fenomena “fear of missing out” (FOMO) atau ketakutan tertinggal dari pencapaian orang lain menjadi tekanan yang nyata. Banyak anak muda merasa terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat, yang perlahan mengikis rasa percaya diri dan kebahagiaan.
Selain faktor eksternal, kurangnya literasi kesehatan mental turut memperburuk keadaan. Banyak orang belum memahami bahwa gangguan psikologis tidak selalu tampak dari luar. Seseorang bisa terlihat “baik-baik saja” namun menyimpan luka batin yang dalam. Pendidikan formal di Indonesia juga masih minim memberikan ruang untuk mengajarkan keterampilan emosional, seperti manajemen stres, empati, dan komunikasi asertif. Akibatnya, banyak remaja dan dewasa muda tumbuh tanpa kemampuan mengelola tekanan hidup. Ketika masalah datang bertubi-tubi, pelarian yang dipilih sering kali destruktif, seperti penyalahgunaan zat, isolasi diri, atau bahkan tindakan ekstrem seperti percobaan bunuh diri.
Momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia seharusnya menjadi titik balik untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kesehatan mental adalah hak setiap manusia. Pemerintah memang telah berupaya dengan berbagai kebijakan, seperti penyediaan layanan psikolog di puskesmas, hotline darurat untuk konsultasi, serta kampanye edukasi publik. Namun, langkah tersebut belum cukup tanpa partisipasi aktif masyarakat. Perubahan harus dimulai dari tingkat paling dasar — keluarga, sekolah, dan lingkungan kerja. Keluarga perlu menjadi tempat yang aman untuk berbicara dan mengekspresikan perasaan tanpa takut dihakimi. Sekolah sebaiknya tidak hanya menilai siswa dari capaian akademik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan emosional mereka. Begitu pula di tempat kerja, perusahaan perlu membangun budaya yang sehat dengan menyeimbangkan produktivitas dan kesejahteraan karyawan.
Empati sosial menjadi kunci utama dalam membangun masyarakat yang lebih sehat secara mental. Empati bukan sekadar merasa iba terhadap penderitaan orang lain, melainkan kemampuan untuk memahami perasaan dan sudut pandang mereka tanpa menghakimi. Dalam konteks kesehatan jiwa, empati bisa menjadi penyembuh yang kuat. Sering kali, orang yang mengalami gangguan mental tidak membutuhkan solusi instan, tetapi hanya butuh seseorang yang mau mendengarkan dengan tulus. Tindakan sederhana seperti bertanya “apa kamu baik-baik saja?” atau memberikan waktu untuk mendengarkan keluh kesah bisa berdampak besar bagi pemulihan seseorang.
Media juga memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik terhadap isu kesehatan mental. Pemberitaan yang sensasional tentang kasus bunuh diri atau gangguan jiwa justru dapat memperburuk stigma. Sebaliknya, media perlu lebih banyak menampilkan kisah inspiratif tentang pemulihan, perjuangan, dan solidaritas sosial. Kampanye positif seperti #PeduliSesama atau #BeraniBicara di media sosial bisa menjadi ruang untuk membuka percakapan publik secara sehat. Dengan cara itu, masyarakat dapat belajar bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian.
Generasi muda, meskipun rentan terhadap tekanan, sebenarnya juga memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Banyak komunitas kini bermunculan dengan tujuan meningkatkan kesadaran mental, seperti ruang diskusi, konseling daring, dan kelompok dukungan sebaya. Gerakan ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap kesehatan jiwa bisa tumbuh dari akar rumput. Dengan dukungan yang tepat, generasi ini dapat menciptakan budaya baru di mana berbicara tentang perasaan adalah hal yang wajar, bukan aib.
Kesehatan mental juga sangat berkaitan dengan keadilan sosial dan ekonomi. Tekanan hidup tidak lahir dari ruang hampa; banyak di antaranya berasal dari ketimpangan sosial, pengangguran, dan kemiskinan. Oleh karena itu, membangun kesehatan jiwa masyarakat tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja, pendidikan yang layak, dan jaminan sosial. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, individu memiliki ruang lebih luas untuk tumbuh dan beradaptasi secara sehat.
Menjaga kesehatan jiwa bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga tugas bersama sebagai bangsa. Kita perlu menciptakan budaya saling peduli dan menormalisasi percakapan tentang mental health. Tidak ada yang salah dengan mencari bantuan profesional. Sama seperti kita pergi ke dokter ketika demam, kita juga berhak menemui psikolog ketika hati terasa sesak. Empati sosial dan kepedulian kolektif akan menjadi pondasi kuat untuk membangun Indonesia yang tidak hanya sehat secara ekonomi, tetapi juga bahagia secara emosional.
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan momentum refleksi untuk menata ulang cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Setiap individu berhak hidup dengan damai dalam pikirannya. Dan untuk mewujudkan itu, kita semua perlu belajar menjadi manusia yang lebih mendengarkan, lebih memahami, dan lebih peduli. Karena di dunia yang semakin bising ini, kadang yang paling dibutuhkan bukan nasihat, melainkan kehadiran yang hangat dan hati yang mau memahami tanpa syarat.