• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Ketika Suara Rakyat Menjelma Amanah di Kursi Parlemen

16 September 2025

193 kali dibaca

Ketika Suara Rakyat Menjelma Amanah di Kursi Parlemen

Dalam setiap detik kehidupan berbangsa, ada denyut suara yang berkelindan. Suara itu lahir dari jalanan yang berdebu, dari sawah yang menguning, dari pasar yang riuh, hingga dari ruang-ruang sunyi tempat rakyat kecil berdoa agar esok lebih baik daripada hari ini. Suara itu sederhana, kadang hanya bisikan lirih, kadang pekik yang menggema. Namun, pada hakikatnya, suara itu adalah amanah. Ia menunggu untuk dijaga, dijalankan, dan diwujudkan.

Di ruang parlemen yang megah, suara-suara itu menemukan wujudnya dalam diri mereka yang disebut wakil rakyat. Mereka bukan hanya sekadar nama dalam daftar panjang kandidat pemilu, bukan pula hanya kursi yang terisi di ruang sidang. Mereka adalah jembatan, penghubung antara harapan rakyat dengan kebijakan negara. Di pundak merekalah, sebuah tanggung jawab moral, politik, dan kemanusiaan dititipkan.

Amanah yang Menjadi Nafas Demokrasi

Demokrasi, sebagaimana sering digambarkan, adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, rakyat tak mungkin setiap hari duduk di ruang sidang atau menuliskan pasal demi pasal dalam undang-undang. Karena itu, mereka memilih wakil—orang-orang yang dipercaya mampu membawa aspirasi. Di sinilah, wakil rakyat bukan hanya jabatan, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan kesadaran penuh.

Amanah itu ibarat api kecil. Jika dijaga dengan hati-hati, ia bisa menjadi cahaya penerang. Namun bila diabaikan, ia bisa padam, menyisakan kegelapan. Wakil rakyat dituntut untuk menjaga api itu tetap menyala, agar rakyat merasa suaranya tidak hilang ditelan hiruk-pikuk kekuasaan.

Antara Janji dan Bukti

Setiap perjalanan menuju kursi parlemen biasanya diwarnai janji. Janji yang diucapkan dengan lantang di panggung kampanye, janji yang disampaikan sambil berjabat tangan dengan petani, nelayan, guru, pedagang, hingga anak muda. Janji itu mengikat, bukan sekadar untuk meraih suara, tetapi untuk membangun kepercayaan.

Namun, sejarah demokrasi kita kerap memperlihatkan jurang yang lebar antara janji dan bukti. Tak sedikit wakil rakyat yang, setelah terpilih, lupa pada suara yang dahulu mereka bela. Ruang sidang menjadi sunyi dari nurani, penuh oleh kepentingan kelompok atau kepentingan diri. Padahal, rakyat menanti, dengan mata berbinar penuh harap.

Dalam titik inilah, kesadaran puitis tentang amanah menjadi penting. Seorang wakil rakyat sejatinya bukan hanya politisi, melainkan penyair rakyat: ia harus bisa mendengarkan denyut aspirasi, merangkainya dalam kata dan kebijakan, lalu menyampaikannya agar menjadi nyata.

Wakil Rakyat sebagai Cermin

Rakyat menilai wakilnya sebagaimana seseorang bercermin. Bila cermin itu jernih, mereka bisa melihat wajah demokrasi yang teduh. Namun bila cermin itu buram, kepercayaan pun retak.

Seorang wakil rakyat yang setia pada amanah akan menjadi cermin keadilan. Ia hadir di tengah rakyat, menyerap keluh kesah, lalu membawa pulang cerita itu ke ruang sidang. Ia memperjuangkan regulasi yang tak hanya menguntungkan segelintir, tapi menyentuh akar persoalan bangsa: pendidikan yang merata, kesehatan yang terjangkau, lapangan kerja yang luas, hingga keadilan sosial yang bukan sekadar slogan.

Namun, bila ia mengkhianati amanah, cermin itu pecah. Rakyat melihat retakan yang menyakitkan: korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebijakan yang berat sebelah. Dan ketika cermin pecah, yang hancur bukan hanya wajah wakil rakyat, tapi juga wajah demokrasi itu sendiri.

Suara yang Sering Terlupakan

Di negeri yang luas dan penuh ragam ini, tidak semua suara terdengar sama keras. Ada suara dari pusat kota yang lantang, dengan akses media dan jaringan. Namun ada pula suara dari pelosok yang lirih, nyaris tenggelam dalam riuh perdebatan nasional.

Wakil rakyat sejati tidak boleh hanya mendengar yang lantang. Ia juga harus menajamkan telinga untuk suara-suara lirih itu: suara nelayan yang kesulitan melaut karena harga solar, suara petani yang gusar karena harga gabah jatuh, suara buruh yang lelah karena upah tak sebanding tenaga, suara ibu-ibu yang risau memikirkan biaya sekolah anak.

Mendengar suara yang lirih, lalu menjadikannya pusat perhatian, adalah wujud keberpihakan. Di situlah letak kebesaran seorang wakil rakyat: tidak silau oleh panggung besar, tetapi peka pada bisikan kecil.

Parlemen sebagai Panggung Harapan

Kursi parlemen, sejatinya, bukanlah singgasana. Ia hanyalah kursi biasa yang diberi makna luar biasa. Maknanya terletak pada siapa yang duduk di sana, dan bagaimana ia menggunakan wewenangnya.

Jika kursi itu dijadikan panggung untuk menegakkan keadilan, ia akan menjadi panggung harapan. Dari sanalah lahir undang-undang yang berpihak pada rakyat, pengawasan yang ketat terhadap jalannya pemerintahan, serta keputusan-keputusan yang menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kemanusiaan.

Namun, bila kursi itu hanya dijadikan singgasana pribadi, maka yang lahir hanyalah pertunjukan politik yang jauh dari esensi. Rakyat yang menonton akan kecewa, bahkan apatis. Dan demokrasi tanpa partisipasi rakyat hanyalah bangunan kosong tanpa jiwa.

Menjaga Api Amanah

Wakil rakyat, pada akhirnya, adalah manusia biasa. Ia bisa salah, bisa khilaf. Tetapi, yang membedakan adalah kesediaan untuk kembali pada amanah. Kesediaan untuk mengingat bahwa setiap tanda tangan dalam undang-undang, setiap keputusan dalam sidang, adalah gema dari suara rakyat yang memilihnya.

Menjaga api amanah berarti menjaga kepercayaan. Dan kepercayaan itu mahal. Ia bisa dibangun bertahun-tahun, tetapi hancur hanya dalam sekejap. Maka, seorang wakil rakyat harus berjalan dengan hati-hati, dengan kesadaran bahwa di belakangnya ada jutaan mata yang menatap, ada jutaan doa yang mengiringi.

Puisi Demokrasi

“Ketika Suara Rakyat Menjelma Amanah di Kursi Parlemen” bukan sekadar judul, melainkan ajakan untuk merenung. Demokrasi bukan hanya prosedur, bukan hanya pemilu lima tahun sekali. Demokrasi adalah puisi panjang yang ditulis bersama: oleh rakyat, oleh wakil rakyat, oleh pemerintah, oleh semua yang mencintai negeri ini.

Dalam puisi itu, wakil rakyat adalah bait penting. Bila ia ditulis dengan indah, maka puisi demokrasi menjadi harmoni. Namun bila ia ditulis dengan alpa, maka puisi itu kehilangan makna.

Semoga, di setiap kursi parlemen, lahir wakil-wakil yang mengingat bahwa suara rakyat adalah amanah. Amanah yang harus dijaga dengan nurani, dengan kerja keras, dan dengan kejujuran. Sebab hanya dengan begitu, demokrasi akan tetap bernyawa, dan bangsa ini akan tetap melangkah maju, setia pada janji keadilan dan kesejahteraan bagi semua.