Bagian 6: Sumbang Bagaua (Pergaulan)
Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Dalam setiap langkah perempuan Minangkabau, adat bukan sekadar tali pengikat, melainkan suluh yang menuntun ke jalan yang selamat dan bermartabat. Salah satu suluh itu adalah "Sumbang Bagaua/pergaulan", tuntunan bijak dalam memilih dan membatasi pergaulan—khususnya dalam relasi perempuan dan laki-laki.
Dalam kebudayaan Minang yang bersendikan syarak, dan syarak bersendikan Kitabullah, pergaulan bukanlah perkara yang disepelekan. Ia adalah ruang di mana martabat bisa tumbuh, tetapi juga tempat di mana kehormatan bisa runtuh.
Sumbang bagaua, secara harfiah adalah bentuk pergaulan yang tidak sesuai dengan norma dan adab yang dijunjung dalam masyarakat. Bukan semata soal tindakan fisik, tapi juga menyangkut etika batin, bagaimana seorang perempuan bersikap, berkata, berjalan, bahkan tertawa di hadapan laki-laki yang bukan muhrim.
Pergaulan bukan sekadar soal siapa yang kita ajak bicara, tetapi bagaimana, dalam cara dan waktu seperti apa, serta apa dampak yang mungkin lahir darinya. Maka adat memberi rambu, Maka tak heran jika adat menyebut, "jan dibauahkan antimun jo durian, jan dipadakekkan api jo rabuak." Sebuah pituah penuh makna tentang batas-batas yang harus dijaga, agar tidak mengundang petaka dari ketertarikan dua lawan jenis.
Bagi perempuan yang masih gadis, sumbang jika bergaul dengan laki-laki yang bukan famili, apalagi jika dilakukan dalam situasi yang mengundang syak. Duduk bersama, bercakap-cakap tanpa jarak, bepergian tanpa mahram—ini semua dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip "raso jo pareso", rasa dan logika yang menjadi fondasi kearifan lokal Minangkabau.
Perempuan yang telah menikah pun tidak luput dari aturan ini. Bahkan lebih berat. Sebab kehormatannya bukan hanya miliknya sendiri, tapi juga milik suaminya, keluarganya, dan kaumnya. Sedangkan bagi perempuan yang telah menjanda (marando), adat menasihati untuk lebih berhati-hati menjaga diri, sebab ia dalam posisi rentan terhadap penilaian dan godaan dari luar.
Dalam Islam, nilai ini berkaitan erat. Rasulullah ? bersabda, “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertainya” (HR. Bukhari & Muslim), dan dalam riwayat lain, “Tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim). Bahkan komunikasi yang tampak biasa, jika dilakukan secara pribadi dan berlebihan tanpa kebutuhan mendesak, termasuk bentuk khulwah yang perlu diwaspadai.
Allah ? pun memerintahkan dalam Surat An-Nur ayat 30, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.”
Islam tidak menutup ruang silaturahmi, tetapi menegaskan pentingnya ghadhul bashar (menundukkan pandangan) dan menjaga batas dalam berinteraksi. Di sinilah adat dan agama bersatu suara, bahwa kehormatan perempuan adalah pusaka yang harus dijaga, bukan karena ia lemah, tapi karena ia mulia. Ia bukan perhiasan yang bisa disentuh sesuka hati, tetapi cahaya yang harus dijaga agar tak pudar oleh sorot dunia.
Di tengah derasnya arus budaya bebas dan normalisasi pergaulan tanpa batas, salah pergaulan menjadi salah satu pintu masuk yang paling halus namun berbahaya bagi kerusakan akhlak dan marwah diri. Banyak perempuan terjebak dalam relasi semu, terpapar gaya hidup permisif, hingga menjadikan media sosial sebagai tempat mengekspresikan kedekatan yang tak lagi peduli adab dan batas.
Fenomena konten kemesraan palsu, hingga candaan centil dalam ruang digital—semuanya adalah wajah baru dari sumbang bagaua yang hari ini menjelma lebih canggih namun tak kalah mencelakakan. Maka, menjaga pergaulan bukan lagi soal kuno atau konservatif, melainkan jalan bijak untuk mempertahankan kemuliaan diri di tengah dunia yang terus mengikis nilai.
Seorang perempuan Minangkabau, baik yang masih gadis, telah bersuami, maupun yang menyandang status marando, tetap diikat oleh kewajiban menjaga diri dari sumbang pergaulan. Adat dan agama sama-sama menuntut kehati-hatian, sebab fitnah terbesar yang disebut Rasulullah ? adalah fitnah wanita “Tidaklah ada fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada wanita” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dalam menghadapi realitas sosial modern yang kian terbuka dan sering kali menggoda untuk melampaui batas, ada tiga kaidah penting yang mesti dipegang teguh oleh setiap perempuan. Pertama, menghindari lebih utama—jika suatu urusan bisa diselesaikan oleh sesama jenis, maka itulah pilihan terbaik untuk menghindari fitnah. Kedua, interaksi hanya saat ada kebutuhan nyata—bukan karena sekadar ingin ditemani, tapi karena memang benar-benar mendesak dan tidak bisa diwakilkan. Ketiga, tidak berlebihan—meskipun ada kebutuhan, interaksi tetap harus dijaga agar tidak menjadi terlalu intens, cair, atau membuka celah kedekatan yang bisa menjerumuskan pada perkara yang sumbang.
Sumbang bagaua adalah pelajaran penting bahwa pergaulan tak selalu tentang siapa temanmu, tetapi tentang sejauh mana engkau mampu menjaga adab dalam hubungan. Sebab adab bukan penghalang, melainkan pagar agar taman kehidupan tetap indah, harum, dan terjaga. Dan seperti bunga yang harum karena tak semua orang bisa memetiknya, begitu pula perempuan Minangkabau, ia memelihara dirinya bukan untuk membatasi dunia, tetapi untuk menjaga cahaya yang dikandungnya.