• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Membangun Budaya Literasi Membaca Sejak Dini di Tengah Arus Digital

26 Oktober 2025

21 kali dibaca

Membangun Budaya Literasi Membaca Sejak Dini di Tengah Arus Digital

Di tengah derasnya arus digital yang mengalir tanpa jeda, membaca sering kali kalah pamor dari layar gawai yang tak pernah padam. Masyarakat kini lebih akrab dengan notifikasi daripada narasi, lebih rajin menggulir layar daripada membuka lembar buku. Padahal, membaca bukan sekadar kegiatan melafalkan huruf, melainkan perjalanan batin untuk menyelami makna, menajamkan nalar, dan memperluas cakrawala berpikir.

Dulu, buku disebut sebagai jendela dunia. Kini, jendela itu perlahan tertutup oleh cahaya layar yang gemerlap. Padahal, lewat membaca seseorang bisa menjelajahi benua tanpa beranjak tempat, memahami sejarah tanpa mesin waktu, dan menatap masa depan dengan lebih arif. Membaca, sejatinya, adalah tindakan kecil yang mampu menumbuhkan kebesaran jiwa dan kedalaman budi.

Orang yang gemar membaca memiliki kepekaan rasa dan ketajaman pikir. Dari buku, manusia belajar mengenali diri, memahami sesama, dan menimbang arah kehidupan. Tak berlebihan jika UNESCO menyebut literasi sebagai fondasi dari seluruh pembelajaran. Laporan lembaga dunia itu pada 2006 menegaskan, literasi merupakan keterampilan dasar untuk belajar sepanjang hayat dan berperan penting dalam membangun masyarakat berpengetahuan.

Namun realita berkata lain. Data UNESCO Institute for Statistics (2019) menunjukkan, tingkat literasi Indonesia masih tergolong rendah dibanding sejumlah negara lain. Sementara dalam data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menggunakan indikator Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 
 Tahun 2023 menyebutkan, indeks literasi masyarakat Indonesia baru mencapai angka 64,48 atau kategori “sedang”. Angka ini memang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, namun belum cukup untuk menegakkan budaya baca sebagai napas kehidupan bangsa.

Gerakan literasi tidak harus dimulai dari ruang besar. Ia justru tumbuh dari langkah-langkah sederhana, dari ruang keluarga, dari suara orang tua yang membacakan cerita sebelum tidur, dari rak kecil yang memajang buku-buku penuh warna.

UNESCO (2022) menegaskan bahwa rumah adalah sekolah pertama bagi anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang mencintai buku, cenderung memiliki kemampuan bahasa dan imajinasi yang lebih tinggi. Kebiasaan sederhana seperti mendiskusikan isi cerita, menanyakan makna kata, atau sekadar mengajak anak memilih buku favorit, adalah cara paling nyata menanam benih literasi.

Sekolah menjadi ladang tempat benih itu tumbuh. Melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang digagas Kemendikbudristek pada tahun 2016,  mengajak anak-anak cintai membaca lewat berbagai program menarik dari pojok baca hingga kegiatan reading day. 

Perkembangan teknologi digital memang membawa dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membuka akses luas terhadap ilmu pengetahuan dan bacaan elektronik. Tetapi di sisi lain, ia melahirkan budaya instan di mana orang lebih suka menonton ringkasan daripada membaca teks utuh.

Penelitian Common Sense Media (2022) bahkan mencatat, durasi fokus remaja terhadap teks panjang menurun drastis, hanya sekitar 8–10 menit sebelum perhatian mereka teralihkan. Akibatnya, kemampuan memahami bacaan secara mendalam kian menurun. Padahal, membaca melatih kesabaran berpikir, daya tahan nalar, dan kepekaan terhadap makna sesuatu yang tak bisa digantikan oleh video berdurasi singkat.

Maka, tantangan kita bukan hanya menumbuhkan minat baca, tetapi juga menumbuhkan kemampuan membaca dengan kesadaran. Literasi bukan sekadar tahu isi teks, tetapi memahami nilai di baliknya. Ia melatih manusia berpikir sebelum berkomentar, memahami sebelum menyimpulkan, dan menghargai sebelum menghakimi.

Di tengah hiruk-pikuk informasi, membaca adalah bentuk perlawanan yang elegan. Ia melatih kita untuk berhenti sejenak, mendengar suara hati, dan menata pikiran. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejati bukan hanya menumbuhkan kecerdasan otak, tetapi juga membentuk budi pekerti. Membaca adalah jembatan menuju keduanya.

Malcolm Knowles (1980), tokoh pendidikan asal Amerika, menegaskan pentingnya lifelong learning, yaitu belajar sepanjang hayat sebagai bekal manusia menghadapi perubahan zaman. Dan setiap pembelajar sejati, selalu dimulai dari satu kebiasaan kecil yakni membaca.

Membangun budaya membaca bukan sekadar ajakan moral, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Karena dari satu buku yang dibaca, lahir seribu ide. Dari satu anak yang mencintai buku, lahir generasi pembelajar yang tak mudah tergoda arus dangkal informasi.

Mari menyalakan kembali lilin literasi itu di rumah, di sekolah, di ruang publik. Sebab bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kuat secara ekonomi, tetapi bangsa yang berpikir, menulis, dan membaca dengan kesadaran.

Di tengah gegap gempita dunia digital, membaca mungkin tampak sebagai tindakan sunyi. Tapi justru dari kesunyian itulah lahir cahaya peradaban. Dari huruf-huruf sederhana, lahir gagasan yang menuntun dunia.