Di tengah dinamika agraria dan perubahan lanskap kepemilikan tanah di Indonesia, tanah ulayat menjadi salah satu isu paling krusial. Di banyak wilayah, tanah yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat belum sepenuhnya tercatat dalam sistem hukum negara. Padahal, tanah ulayat bukan sekadar aset atau lahan produktif. Ia adalah ruang hidup, ruang budaya, ruang identitas.
Bagi masyarakat Minangkabau, tanah ulayat adalah warisan pusako tinggi yang menyatukan kaum dan nagari, diwariskan bukan kepada individu tetapi kepada generasi. Dalam falsafah adat, sako tidak boleh habis, pusako pantang dijual yang bermakna bahwa tanah tidak sekadar milik fisik, tetapi juga milik nilai.
Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa banyak tanah ulayat kehilangan jejak administratif. Lemahnya pengakuan formal membuatnya rentan terhadap konflik, perambahan, bahkan penghilangan hak. Di sinilah pentingnya jembatan antara hukum adat dan hukum negara.
Sosialisasi pendaftaran tanah ulayat yang digelar Kementerian ATR/BPN di Pesisir Selatan menjadi momen penting bukan hanya untuk membahas regulasi, tapi untuk merajut kembali tali antara warisan leluhur dan sistem hukum modern. Pertemuan ini menjadi ruang dialog antara nilai dan norma, antara suara adat dan kebijakan Negara yang menjadi harapan bersama, upaya ini tidak akan menggerus kearifan, tetapi justru menjadi penjaga baru yang mampu menata masa depan tanpa kehilangan akar. Karena tanah ulayat, sejatinya, bukan hanya soal siapa yang memiliki, tapi tentang bagaimana kita merawatnya untuk anak cucu kita nanti.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah menggelar sosialisasi pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat di Kabupaten Pesisir Selatan, Rabu (6/8/2025), acara ini tak sekadar agenda birokrasi. Ia adalah titik temu antara dua sistem nilai: hukum negara dan hukum adat yang telah hidup berabad-abad di Ranah Minang.
Kegiatan yang berlangsung di Gedung PCC Painan ini menghadirkan tokoh-tokoh dari pusat hingga daerah. Hadir Staf Khusus Menteri ATR/BPN Bidang Reforma Agraria, Tezka Oktoberia, Staf Ahli Menteri ATR/BPN Bidang Hukum Agraria dan Masyarakat Adat, Slameto Dwi Martono, Kepala Kanwil BPN Sumatera Barat Teddi Guspriadi, serta Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni Dt Bando Basau, Sekretaris Daerah Mawardi Roska, unsur Forkopimda, camat, wali nagari, tokoh adat, serta perwakilan masyarakat hukum adat dari berbagai nagari.
Dalam sambutannya, Tezka menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan implementasi dari Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Aturan ini menjadi jembatan agar tanah ulayat yang selama ini hidup dalam narasi adat bisa diakui dalam sistem hukum nasional dan mendapatkan perlindungan formal.
Slameto menambahkan bahwa pengakuan negara terhadap tanah ulayat bukanlah bentuk intervensi terhadap adat, melainkan strategi hukum untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam menghadapi tantangan modern seperti konflik agraria dan alih fungsi lahan.
Sebagai landasan konstitusional, upaya ini sesuai dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Upaya ini juga sejalan dengan amanat Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria, di mana penguatan hak masyarakat adat menjadi bagian penting dari pemerataan keadilan agraria di Indonesia.
Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni Dt Bando Basau, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini dan menegaskan bahwa pendaftaran tanah ulayat merupakan langkah strategis untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan mencegah potensi konflik.
“Pendaftaran tanah ulayat ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat kita. Pemerintah daerah siap bersinergi dengan BPN dan seluruh unsur terkait untuk mempercepat proses ini,” ujar Bupati.
Tanah ulayat selama ini diakui berdasarkan garis keturunan dan prinsip musyawarah adat. Namun, absennya dokumen hukum membuatnya rawan diklaim secara sepihak, diperjualbelikan tanpa persetujuan kaum, atau dialihfungsikan tanpa musyawarah, hal ini menekan Pentingnya Legalitas di Tengah Arus Modernisasi
Sekda Pesisir Selatan Mawardi Roska yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa niat untuk mendaftarkan tanah ulayat telah muncul sejak era Gubernur Hasan Basri Durin, namun baru kali ini dapat diwujudkan secara nyata.
“Kami berharap ninik mamak, pemangku adat, wali nagari dapat menyambut baik inisiatif ini, memperkuat kelembagaan adat, melakukan pendataan wilayah ulayat secara partisipatif, serta mencegah potensi sengketa lahan,” ucap Mawardi.
Acara ini tak hanya menghadirkan paparan regulasi dan prosedur teknis, tetapi juga membuka ruang diskusi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat adat untuk merumuskan strategi pengelolaan tanah ulayat secara berkelanjutan.
Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan menyatakan komitmennya untuk segera menyusun data dan peta tanah ulayat di seluruh nagari, bekerja sama dengan perangkat adat dan instansi terkait. Tujuannya, agar nilai adat terjaga, sekaligus memiliki kekuatan hukum dalam tata ruang daerah.
Muncul kekhawatiran bahwa legalisasi tanah ulayat bisa melemahkan fungsi adat. Namun, narasumber BPN menegaskan bahwa pendaftaran tanah ulayat justru menuntut penguatan kelembagaan adat agar sanggup menyusun dokumen, peta, dan pengakuan hukum atas eksistensinya.
Dengan dialog yang terbuka dan prinsip transparansi, hukum negara dan hukum adat dapat saling menguatkan. Tidak bertentangan, melainkan berjalan bersama.
Di tengah derasnya arus modernisasi dan tekanan atas lahan, langkah Pesisir Selatan untuk mendaftarkan tanah ulayat adalah bentuk keberanian untuk menjaga akar, bukan sekadar simbol adat. Ini adalah wujud dari filosofi alam takambang jadi guru bahwa hukum adat dan negara bisa berjalan bersama, asalkan bersandar pada nilai-nilai kearifan dan keadilan.
Kini tinggal bagaimana kita, negara, adat, dan masyarakat berdiri sejajar untuk menjaga warisan tanah, bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk generasi penerus. Karena tanah bukan semata ruang hidup, melainkan juga ruang marwah, martabat, dan masa depan.