Di tengah kemajuan teknologi dan meningkatnya aktivitas digital anak-anak, ancaman cyberbullying menjadi salah satu persoalan serius yang perlu diwaspadai bersama. Cyberbullying atau perundungan daring adalah bentuk kekerasan psikologis yang terjadi di ruang digital bisa berupa hinaan, pelecehan, penyebaran fitnah, bahkan penyebaran konten pribadi tanpa izin. Semua itu dilakukan melalui media sosial, aplikasi pesan instan, forum, atau ruang obrolan online. Dampaknya tak sekadar menyakiti perasaan, tapi bisa menimbulkan luka batin yang mendalam, terutama pada anak dan remaja yang sedang membentuk jati diri.
Dunia digital yang seharusnya menjadi ruang belajar, berekspresi, dan berjejaring bagi anak-anak, kini justru menjadi ladang baru bagi kekerasan psikologis. Fenomena perundungan siber atau cyberbullying kian nyata dan mengkhawatirkan. Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengajak seluruh elemen masyarakat dari orang tua hingga pembuat konten untuk bergerak bersama membangun kesadaran dan edukasi publik dalam melawan kekerasan digital terhadap anak.
“Kita harus sadar bahwa cyberbullying itu nyata, menyakitkan, dan melanggar hukum. Ini bukan hanya soal komentar kasar di internet, tapi soal luka batin yang bisa membayangi masa depan anak-anak kita,” ujar Meutya saat menghadiri pemutaran perdana terbatas film edukatif Cyberbullying di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Berbeda dengan perundungan konvensional yang terlihat langsung, cyberbullying sering tersembunyi namun dampaknya bisa lebih luas dan berlangsung terus-menerus tanpa jeda. Menurut data Centers for Disease Control and Prevention (CDC), korban bullying berisiko mengalami cedera fisik, tekanan sosial dan emosional, gangguan tidur, depresi, kecemasan, penurunan prestasi akademik, hingga putus sekolah. Lebih jauh lagi, tekanan yang terus-menerus bisa mendorong korban menyakiti diri sendiri, bahkan memicu keinginan untuk mengakhiri hidup. Tak hanya korban, remaja yang menjadi pelaku bullying juga rentan terhadap berbagai risiko seperti penyalahgunaan zat, masalah akademik, dan kekerasan di masa dewasa. Sementara itu, mereka yang berada di dua sisi sekaligus menjadi pelaku dan korban (bully/victim) disebut mengalami dampak mental dan perilaku paling kompleks dan berat. Temuan ini menegaskan bahwa bullying adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan keterlibatan aktif dari semua pihak.
Menyadari kompleksitas persoalan ini, edukasi digital menjadi tameng pertama yang harus diperkuat. Edukasi tidak cukup hanya dalam bentuk literasi teknis, tapi juga menyentuh nilai-nilai etika, empati, dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya. Anak-anak perlu dibekali dengan pemahaman bahwa setiap kata yang diketik dan setiap konten yang dibagikan punya konsekuensi nyata bagi orang lain. Di sisi lain, orang tua, guru, dan masyarakat juga harus hadir sebagai pelindung dan pendamping yang siap mendengarkan serta bertindak ketika anak menghadapi kekerasan digital.
Data yang dipaparkan Meutya menyebutkan bahwa 48 persen anak Indonesia yang telah mengakses internet mengaku pernah menjadi korban perundungan digital. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak tahu ke mana harus mengadu. Tak sedikit pula yang memilih diam, memendam luka, dan perlahan kehilangan kepercayaan diri.
“Perundungan online sering dianggap remeh, padahal dampaknya sangat serius terhadap psikis anak. Mereka mungkin tidak terluka secara fisik, tapi jiwa mereka bisa runtuh,” tutur Meutya, dengan nada prihatin.
Ironisnya, banyak bentuk perundungan ini terjadi di ruang komunikasi privat grup kelas, chat teman, atau bahkan komentar dari akun anonym yang sulit terpantau oleh sistem pengawasan daring.
Upaya pemerintah memutus akses terhadap konten negatif memang terus dilakukan. Namun Meutya mengakui, pendekatan teknis saja tidak cukup untuk menyelesaikan akar persoalan. Yang dibutuhkan saat ini adalah revolusi literasi digital yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
“Kita harus membangun budaya digital yang sehat sejak dini. Literasi digital bukan hanya soal tahu cara pakai internet, tapi bagaimana bersikap etis, empatik, dan sadar akan dampak dari setiap kata yang dituliskan di ruang digital,” jelasnya.
Kementerian Komdigi pun terus menggencarkan program literasi digital ke sekolah-sekolah, kelompok guru, dan komunitas orang tua, agar mereka mampu mengenali ciri-ciri cyberbullying dan tahu langkah pencegahan serta penanganannya.
Menurut para ahli psikologi perkembangan, anak-anak sangat rentan terhadap pembentukan citra diri negatif jika terus-menerus mengalami perundungan baik secara langsung maupun melalui dunia maya. Dalam situasi ini, keluarga dan sekolah memegang peranan penting.
Orang tua didorong untuk membangun komunikasi terbuka dengan anak, mengenal dunia digital mereka, dan tidak sekadar melarang atau menyalahkan. Sementara itu, guru dan pihak sekolah diharapkan mampu menjadi pendamping yang peka terhadap perubahan perilaku siswa sebagai tanda-tanda adanya tekanan sosial digital.
“Jika anak tiba-tiba menjadi murung, menarik diri, atau enggan membuka gadgetnya, bisa jadi itu sinyal bahwa ia mengalami tekanan di dunia maya. Jangan dibiarkan,” ujar Meutya, mengutip hasil kajian dari lembaga perlindungan anak.
Dalam acara tersebut, Meutya juga menyampaikan apresiasi atas inisiatif DL Entertainment yang memproduksi film Cyberbullying. Film ini menceritakan kisah nyata para korban perundungan daring dan bagaimana mereka mencoba bangkit dari luka batin yang mendalam.
“Film ini bukan sekadar tontonan, tapi ajakan untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Kita butuh lebih banyak karya seperti ini, yang bisa menyentuh hati masyarakat dan membuka mata tentang bahaya cyberbullying,” kata Meutya.
Ia berharap film ini tidak hanya tayang di Jakarta, tapi juga menjangkau sekolah-sekolah dan komunitas di daerah, termasuk melalui platform streaming dan pemutaran komunitas. Tujuannya jelas menjadikan edukasi digital sebagai gerakan sosial bersama.
Perundungan siber adalah cermin dari minimnya empati di tengah kebebasan berekspresi yang ditawarkan dunia digital. Maka langkah melawannya tidak cukup dari sisi regulasi atau teknologi saja, melainkan perlu pembangunan budaya digital yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, agama, dan etika sosial.
Sebagaimana diungkapkan Meutya, “Mendidik masyarakat digital bukan hanya soal teknologi, tapi soal membangun empati dan tanggung jawab.”
Kini, pilihan ada di tangan kita semua. Apakah akan diam menyaksikan generasi muda tumbuh dalam tekanan digital, atau bergerak bersama menyulut perubahan lewat edukasi dan kepedulian. Dengan sinergi seluruh elemen bangsa, pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan keluarga kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih aman, sehat, dan berempati bagi generasi muda. Melawan cyberbullying bukan sekadar tanggung jawab individu, tapi bentuk kasih sayang kolektif kita untuk masa depan anak-anak Indonesia.