Bagian 1 – Kato Mandaki, Bahasa Hormat yang Menjunjung Martabat
Bahasa bukan sekadar alat menyampaikan pesan, tetapi juga cermin nilai, budaya, dan peradaban. Dalam masyarakat Minangkabau, tutur kata hadir dengan aturan yang jelas, disebut Kato Nan Ampek empat ragam bahasa yang mengatur bagaimana orang Minang berkomunikasi sesuai situasi dan lawan bicara. Seperti halnya Sumbang Duo Baleh yang menuntun perempuan Minang menjaga gerak-geriknya, Kato Nan Ampek menjadi panduan tutur yang menjaga harmoni sosial. Melalui tulisan berseri ini, kita akan menyelami satu per satu ragam tersebut, dimulai dengan Kato Mandaki, bahasa hormat yang menjadi fondasi penghargaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kato Mandaki berarti kata mendaki, yakni bahasa yang digunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih tua, dituakan, atau memiliki kedudukan lebih tinggi. Dalam komunikasi Minangkabau, bentuk bahasa ini menuntut kesantunan, kehati-hatian, dan pemilihan kata yang halus. Nilai dasarnya adalah penghormatan (respect), sejalan dengan teori sosiolinguistik Dell Hymes yang menekankan bahwa konteks sosial menentukan bentuk bahasa yang dipakai. Dengan demikian, Kato Mandaki bukan sekadar “bahasa halus”, melainkan mekanisme menjaga martabat orang lain dan sekaligus menunjukkan jati diri penuturnya.
Dalam praktiknya, Kato Mandaki sering ditandai dengan intonasi rendah, pilihan kata sopan, dan penghindaran dari istilah yang berpotensi menyinggung. Misalnya ketika anak muda menyapa ninik mamak atau tokoh adat, mereka menggunakan panggilan penuh hormat, tidak sekadar nama. Pola ini selaras dengan konsep politeness strategy dari Brown & Levinson, bahwa tutur kata yang sopan dapat menjaga “wajah sosial” (social face) pihak lain. Bagi orang Minang, menjaga “muka” orang tua sama artinya dengan menjaga martabat keluarga dan suku.
Menariknya, Kato Mandaki juga berfungsi sebagai media pendidikan karakter. Melalui bahasa hormat, generasi muda diajarkan nilai kesabaran, kesopanan, dan pengendalian diri. Ketika anak diminta berbicara dengan hati-hati di depan orang tua, ia sesungguhnya sedang belajar tentang hierarki sosial dan pentingnya tata krama. Inilah mengapa dalam pepatah Minang disebutkan, “bahasa nan santan, kato nan bana,” yang menandakan bahwa kebenaran harus disampaikan dengan lembut, bukan dengan kasar.
Dalam kehidupan modern, Kato Mandaki tetap relevan, meskipun tantangannya semakin besar. Media sosial, misalnya, sering kali mengaburkan batas antara siapa yang diajak bicara. Banyak anak muda lupa menggunakan bahasa hormat ketika berkomentar kepada orang yang lebih tua. Padahal, jika Kato Mandaki ditinggalkan, maka runtuhlah salah satu pilar sopan santun yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau.
Seri pertama ini menegaskan bahwa Kato Mandaki bukan sekadar tata bahasa, tetapi etika hidup. Ia mengingatkan bahwa dalam setiap kata yang keluar dari mulut, ada tanggung jawab untuk menjaga martabat orang lain. Sebagai bagian dari Tutur Bertakar, bahasa mendaki menjadi langkah awal untuk memahami bagaimana adat Minang menempatkan tutur kata sebagai sarana merawat keseimbangan sosial.