• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

02 Oktober 2025

48 kali dibaca

Batik: Menyulam Narasi Identitas Bangsa

Setiap bangsa memiliki cara tersendiri untuk menceritakan siapa dirinya. Indonesia, dengan keberagaman budaya dan sejarah panjangnya, menuliskan narasi identitas itu bukan hanya lewat bahasa atau tradisi lisan, melainkan juga melalui selembar kain: batik. Bukan sekadar motif indah, batik adalah teks kultural yang menyimpan kisah, doa, hingga falsafah hidup.

Ketika UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada 2 Oktober 2009, dunia seakan disadarkan bahwa kain ini lebih dari sekadar busana. Ia adalah narasi identitas yang menyulam jati diri bangsa dalam garis, titik, dan warna. Sejak saat itu, setiap 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional, sebuah momentum untuk merayakan warisan budaya sekaligus meneguhkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. 

Menurut budayawan Hamzuri dalam bukunya Batik Klasik, membatik adalah sebuah teknik menghias kain dengan menggunakan perintang malam. Namun dalam konteks yang lebih luas, batik adalah seni tutur yang berbeda bentuknya dari lisan, tetapi sama-sama menyampaikan pesan. Inilah mengapa batik disebut sebagai “narasi identitas” karena ia menulis kisah masyarakat lewat pola dan warna.

Batik lahir dari proses panjang peradaban Nusantara. Setiap motif menyimpan makna simbolik yang menjadi identitas kultural suatu daerah. Ia menyimpan kisah panjang tentang budaya, nilai, dan perjalanan hidup bangsa. Batik adalah narasi identitas yang ditulis dengan goresan malam dan diwariskan lintas generasi.

Inilah yang membuat batik disebut sebagai narasi identitas; ia berbicara tanpa kata, menyampaikan pesan melalui visual. Bagi masyarakat Jawa, penggunaan motif tertentu dalam pernikahan atau upacara adat bukanlah sekadar hiasan, melainkan bagian dari komunikasi budaya yang sarat makna. 

Hal serupa juga tampak di Pesisir Selatan, tempat beragam batik khas lahir dan menjadi kebanggaan masyarakat, seperti Batik Tanah Liek, Loempo, dan Batik Manderubiah. Motif-motif ini tidak hanya merepresentasikan kekayaan lokal, tetapi juga menjadi identitas daerah yang perlu dijaga. 

Dengan begitu, batik menjadi semacam bahasa simbolik. Ia merekam nilai, keyakinan, dan bahkan struktur sosial masyarakat yang melahirkannya. Dalam konteks ini, batik adalah teks budaya yang harus dibaca, bukan sekadar dipakai.

Indonesia adalah negara dengan ratusan etnis, bahasa, dan tradisi. Pertanyaan klasik muncul: apa yang bisa menyatukan keragaman ini tanpa meniadakan perbedaan? Batik menjadi salah satu jawabannya. 

Meski tiap daerah memiliki motif dan gaya berbeda, semuanya bernaung dalam satu identitas besar ”batik Indonesia”. Inilah yang disebut narasi identitas kolektif, cerita bersama yang memungkinkan orang dari Sabang sampai Merauke merasa memiliki ikatan yang sama.

Ketika seorang ASN di Pesisir Selatan, seorang pelajar di Makassar, atau seorang pedagang di Yogyakarta sama-sama mengenakan batik pada Hari Batik Nasional, mereka sedang berbagi narasi identitas yang sama. Selembar kain menjadi simbol kesatuan di tengah keberagaman.

Namun narasi identitas tidak bisa berhenti pada seremonial tahunan. Batik harus terus dihidupkan sebagai bagian dari keseharian. Di sinilah pentingnya peran generasi muda, desainer, hingga pemerintah daerah untuk mengembangkan batik sesuai zamannya, tanpa kehilangan ruh aslinya.

Di beberapa daerah, muncul gerakan batik kontemporer yang mengangkat isu lingkungan, pendidikan, bahkan kritik sosial. Pola tradisional dikombinasikan dengan estetika modern, menjadikan batik tetap relevan bagi generasi kini. Ini menandakan bahwa narasi identitas dalam batik bukan teks yang beku, melainkan kisah yang terus berkembang.

Lebih jauh, pengembangan batik lokal juga menjadi cara daerah menegaskan identitasnya. Dengan begitu, batik tidak hanya melestarikan warisan, tetapi juga memperkuat branding kultural di tengah arus globalisasi.

Sebagai narasi identitas, batik menuntut adanya pemahaman dari masyarakat. Banyak orang bangga memakai batik, tetapi tidak semua tahu makna motif yang dikenakan. Inilah pekerjaan rumah kita bersama: menjadikan batik sebagai bahan edukasi, bukan sekadar busana formal.

Di era global, ketika budaya populer asing begitu mudah masuk, batik hadir sebagai jangkar identitas. Ia mengingatkan kita bahwa bangsa ini memiliki kisah yang kaya, tertulis di kain, diwariskan lintas generasi.

Memakai batik bukan sekadar ikut tradisi atau aturan kantor. Ia adalah pernyataan: inilah aku, bagian dari bangsa Indonesia. Di setiap helai batik, tersimpan narasi identitas yang membedakan kita dari bangsa lain.

Batik adalah bahasa tanpa kata. Di Pesisir Selatan, bahasa itu dituturkan lewat motif khas yang terus dijaga. Sebab selama batik hidup, identitas pun tetap bernapas.