• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Publikasi Informasi dan Literasi Publik: Membangun Masyarakat Kritis

10 November 2025

54 kali dibaca

Publikasi Informasi dan Literasi Publik: Membangun Masyarakat Kritis

Dalam era digital yang ditandai oleh banjir informasi, publikasi informasi telah menjadi salah satu aspek paling krusial dalam membentuk opini publik dan perilaku sosial. Informasi kini tidak lagi dimonopoli oleh lembaga-lembaga besar atau institusi media arus utama, melainkan tersebar luas melalui berbagai platform digital yang mudah diakses siapa pun. Dalam konteks ini, kemampuan masyarakat untuk memahami, memilah, dan menilai informasi menjadi sangat penting. Literasi publik—terutama literasi media dan informasi—menjadi pondasi bagi terbentuknya masyarakat kritis yang mampu berpikir mandiri di tengah derasnya arus informasi global.

Publikasi informasi secara umum mengacu pada kegiatan menyebarluaskan pengetahuan, data, atau pesan kepada khalayak luas dengan tujuan membentuk pemahaman, sikap, dan tindakan tertentu. Di masa lalu, publikasi informasi umumnya dilakukan melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, atau buletin, serta melalui saluran radio dan televisi. Namun kini, publikasi informasi telah berevolusi ke ranah digital, di mana media sosial, situs berita daring, blog pribadi, dan bahkan aplikasi pesan instan menjadi saluran utama penyebaran informasi. Transformasi ini membawa peluang sekaligus tantangan besar: di satu sisi, akses terhadap informasi menjadi lebih inklusif; di sisi lain, risiko penyebaran hoaks, disinformasi, dan manipulasi publik meningkat pesat.

Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan literasi informasi yang memadai rentan menjadi korban manipulasi. Informasi palsu yang dikemas secara meyakinkan dapat menyesatkan opini publik, menimbulkan kepanikan, bahkan memicu konflik sosial. Karena itu, publikasi informasi yang bertanggung jawab harus dibarengi dengan upaya peningkatan literasi publik. Literasi publik tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kecakapan untuk memahami konteks, menilai kredibilitas sumber, serta menganalisis dampak sosial dan politik dari sebuah informasi. Dengan kata lain, literasi publik adalah kunci agar masyarakat tidak sekadar menjadi konsumen pasif, melainkan partisipan aktif dalam ekosistem informasi.

Pentingnya literasi publik semakin terlihat dalam dinamika kehidupan demokrasi. Dalam sistem demokrasi, publikasi informasi berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, pengawasan kekuasaan, dan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, tanpa literasi yang baik, masyarakat dapat dengan mudah terjebak dalam polarisasi dan propaganda. Misalnya, menjelang pemilu, publikasi informasi sering kali digunakan sebagai alat politik untuk membangun citra atau menjatuhkan lawan. Berita-berita yang bias, opini yang disamarkan sebagai fakta, atau manipulasi data statistik menjadi senjata ampuh untuk menggiring persepsi publik. Dalam situasi seperti ini, masyarakat yang memiliki literasi kritis akan mampu menilai mana informasi yang objektif dan mana yang bersifat manipulatif.

Selain berfungsi sebagai benteng melawan disinformasi, literasi publik juga berperan dalam memperkuat kesadaran sosial. Masyarakat yang literat informasi akan lebih mudah memahami isu-isu publik seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, hak asasi manusia, atau kesehatan masyarakat. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bagian dari solusi melalui keterlibatan aktif dalam diskusi publik, advokasi, dan aksi sosial. Publikasi informasi yang diarahkan untuk memberdayakan masyarakat harus mengedepankan nilai transparansi, akurasi, dan empati, bukan sekadar mengejar sensasi atau klik.

Dalam konteks pembangunan nasional, publikasi informasi yang berorientasi pada peningkatan literasi publik dapat menjadi instrumen strategis untuk memperkuat karakter bangsa. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan media massa memiliki peran penting dalam membangun ekosistem informasi yang sehat. Pemerintah, misalnya, dapat mendorong keterbukaan data publik melalui portal resmi agar masyarakat dapat mengakses informasi yang valid. Media massa di sisi lain, perlu menjalankan fungsi jurnalistik yang beretika, mengedepankan verifikasi, serta menyediakan ruang edukatif bagi masyarakat untuk belajar mengenali kualitas informasi. Sementara lembaga pendidikan dapat menanamkan literasi media sejak dini, mengajarkan cara berpikir kritis dan mendorong budaya baca yang kuat di kalangan pelajar.

Namun, tanggung jawab membangun literasi publik tidak semata berada di pundak lembaga formal. Masyarakat sendiri harus aktif membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya verifikasi dan tanggung jawab dalam berbagi informasi. Dalam era media sosial, setiap individu memiliki peran ganda sebagai penerima dan penyebar informasi. Oleh karena itu, etika digital menjadi hal yang tak kalah penting. Tidak menyebarkan informasi tanpa sumber jelas, menghormati privasi orang lain, serta berpartisipasi dalam diskusi secara sehat adalah bagian dari praktik literasi publik yang baik. Masyarakat kritis bukan berarti masyarakat yang selalu menolak, tetapi masyarakat yang mampu menilai dengan argumentasi yang berbasis data dan logika.

Peran jurnalis dan media profesional juga tak bisa diabaikan dalam proses ini. Di tengah maraknya informasi yang bersifat instan dan dangkal, jurnalisme berkualitas harus tetap menjadi pilar utama publikasi informasi. Investigasi mendalam, pelaporan berbasis data, dan keberimbangan dalam pemberitaan adalah bentuk tanggung jawab moral yang memperkuat kepercayaan publik terhadap media. Media yang berintegritas akan berfungsi sebagai penyeimbang di tengah hiruk-pikuk informasi yang bersifat viral namun belum tentu benar. Lebih jauh, media juga dapat menjadi mitra edukatif dalam meningkatkan literasi publik melalui rubrik edukatif, program literasi digital, atau kolaborasi dengan lembaga akademik.

Tantangan membangun masyarakat kritis memang tidak ringan. Globalisasi informasi menghadirkan kompleksitas baru di mana batas antara fakta dan opini semakin kabur. Algoritma media sosial, misalnya, cenderung menampilkan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna, menciptakan apa yang disebut “echo chamber” atau ruang gema digital. Dalam ruang ini, seseorang hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinannya sendiri, sehingga sulit menerima perspektif berbeda. Literasi publik menjadi alat untuk menembus ruang gema tersebut, membuka kesadaran bahwa kebenaran tidak selalu tunggal, dan bahwa setiap informasi perlu diuji sebelum diyakini.

Ke depan, strategi membangun masyarakat kritis harus berbasis kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan keterbukaan informasi publik dan melindungi kebebasan pers. Dunia pendidikan harus memperluas kurikulum literasi digital dan berpikir kritis. Media perlu menjaga etika dan kepercayaan publik. Sementara masyarakat sipil dan komunitas digital dapat menjadi agen perubahan yang mengkampanyekan pentingnya literasi informasi di ruang-ruang sosial. Masyarakat yang melek informasi adalah masyarakat yang tangguh menghadapi manipulasi, rasional dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak.

Pada akhirnya, publikasi informasi dan literasi publik bukanlah dua hal yang berdiri sendiri, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Publikasi yang baik akan memperkaya literasi masyarakat, sementara masyarakat yang literat akan mendorong terciptanya publikasi yang lebih berkualitas. Keduanya saling menguatkan dalam menciptakan tatanan sosial yang lebih terbuka, demokratis, dan beradab. Dalam dunia yang semakin terhubung dan cepat berubah, kemampuan untuk berpikir kritis, memahami informasi secara mendalam, serta menilai kebenaran menjadi benteng terakhir melawan kebodohan kolektif. Melalui literasi publik yang kuat, bangsa ini dapat membangun masyarakat yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dan beretika dalam mengelola arus informasi yang tiada henti.