• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Efek Jangka Panjang Bullying terhadap Kesehatan Mental Anak

24 Oktober 2025

63 kali dibaca

Efek Jangka Panjang Bullying terhadap Kesehatan Mental Anak

Bullying bukan sekadar perkelahian atau ejekan sesaat. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pengalaman berulang menjadi korban perundungan, baik fisik, verbal, maupun siber, meninggalkan bekas yang bisa bertahan bertahun-tahun. Dampaknya menjalar jauh melampaui masa sekolah, memengaruhi kesehatan mental, hubungan sosial, prestasi akademik, dan bahkan peluang ekonomi seseorang di masa dewasa.

Studi longitudinal yang diterbitkan dalam JAMA Psychiatry dan The Lancet Child & Adolescent Health menegaskan bahwa anak yang menjadi korban bullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, gangguan kecemasan, hingga keinginan bunuh diri ketika dewasa. Luka psikologis dari perundungan tidak hilang seiring waktu; ia bertransformasi menjadi gangguan mental kronis yang sulit dipulihkan tanpa dukungan serius.

Paparan berulang terhadap pelecehan sebaya memicu stres berkepanjangan. Secara biologis, stres ini mengganggu keseimbangan hormon dan respons saraf yang mengatur emosi. Anak yang terus-menerus mengalami intimidasi akan mengalami penurunan kepercayaan diri, sulit fokus belajar, dan cenderung menutup diri. Dalam jangka panjang, kondisi tersebut berkontribusi terhadap timbulnya gangguan kecemasan, insomnia, hingga gejala mirip post-traumatic stress disorder (PTSD).

Dampak bullying juga tampak dalam studi neurobiologis. Penelitian dari King’s College London menemukan bahwa anak korban bullying menunjukkan perubahan pada bagian otak yang mengatur rasa takut dan regulasi emosi. Hal ini menjelaskan mengapa mereka sering mengalami gangguan konsentrasi, sulit mengelola perasaan, dan lebih rentan terhadap stres. Perubahan tersebut mungkin tidak langsung terlihat, tetapi meninggalkan jejak mendalam dalam perkembangan kognitif dan sosial anak.

Era digital memperluas bentuk kekerasan ini. Cyberbullying membuat perundungan tak lagi berhenti di gerbang sekolah. Ejekan, penghinaan, atau ancaman kini dapat terjadi 24 jam sehari di dunia maya, di hadapan publik luas. UNICEF dan WHO mencatat, korban cyberbullying berisiko dua kali lipat mengalami depresi berat dibanding mereka yang tidak pernah mengalaminya. Tidak adanya “zona aman” membuat anak merasa terjebak dalam lingkaran kekerasan yang seolah tak berujung.

Dampaknya tidak berhenti di masa remaja. Studi jangka panjang dari University of Warwick di Inggris menunjukkan bahwa korban bullying cenderung menghadapi kesulitan dalam dunia kerja ketika dewasa. Mereka lebih sering mengalami pengangguran, pendapatan yang lebih rendah, dan kesulitan menjalin relasi sosial. Artinya, bullying bukan hanya persoalan individu, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang menggerus potensi produktivitas bangsa.

Ironisnya, banyak anak yang menjadi korban justru memilih diam. Ketakutan terhadap pembalasan, rasa malu, atau ketidakpercayaan terhadap sistem sekolah membuat mereka enggan melapor. Di sisi lain, lingkungan sekolah seringkali menormalkan perilaku kasar dengan dalih “tradisi senioritas” atau “candaan anak muda”. Padahal, setiap kali kasus diabaikan, trauma baru sedang ditanamkan dalam diam.

Faktor protektif memainkan peran besar dalam memutus rantai dampak jangka panjang. Dukungan keluarga yang hangat, guru yang responsif, serta lingkungan teman sebaya yang positif dapat mereduksi dampak negatif bullying. Program sekolah yang memasukkan pendidikan karakter, literasi emosi, dan kebijakan anti-bullying yang tegas terbukti menurunkan angka kekerasan di lingkungan pendidikan.

Di Indonesia, survei Global School-based Student Health Survey (GSHS) yang dilakukan UNICEF dan Kemenkes menunjukkan bahwa sekitar satu dari tiga siswa pernah mengalami bullying. Angka ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih kuat dan terintegrasi antara dunia pendidikan, lembaga perlindungan anak, dan sektor kesehatan. Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan tempat yang menumbuhkan rasa takut.

Intervensi bagi korban juga tidak cukup berupa nasihat moral atau konseling sekali-dua kali. Anak yang mengalami trauma mendalam memerlukan terapi berbasis bukti seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan dukungan jangka panjang dari tenaga profesional. Sayangnya, layanan psikolog anak masih sangat terbatas, terutama di daerah. Pemerintah perlu memperluas akses layanan kesehatan mental di puskesmas, sekolah, dan rumah sakit daerah.

Pada akhirnya, bullying harus dipandang sebagai masalah kesehatan publik, bukan sekadar pelanggaran kedisiplinan sekolah. Dampaknya sistemik dan multigenerasi, memengaruhi kualitas manusia Indonesia di masa depan. Membangun budaya anti-bullying berarti menanamkan empati, menghargai perbedaan, dan melindungi masa depan anak-anak kita dari luka yang tak terlihat.