• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

02 Juli 2025

99 kali dibaca

Hening, Ruang yang Terlupakan di Tengah Kebisingan Dunia Digital

Di pagi hari yang masih muda, saat cahaya mentari belum sepenuhnya menembus celah dedaunan, kita pernah akrab dengan keheningan. Dulu, hening adalah sahabat pagi—datang bersama aroma kopi, langkah perlahan menuju halaman, dan suara alam yang belum tertandingi oleh deru mesin atau notifikasi digital.

Kini, keheningan menjadi barang langka. Kita terbangun bukan oleh kicau burung, melainkan oleh getar ponsel dan deretan pesan yang menuntut perhatian seketika. Dunia terasa semakin bising. Bahkan sebelum sempat mengucap syukur atas kehidupan, kita sudah dibanjiri opini, tren, dan kecemasan yang terpampang di layar.
Di era digital yang serba cepat, suara mendominasi. Semua orang ingin bicara, semua hal ingin terlihat, dan semua isi kepala berlomba dibagikan. Dalam hiruk-pikuk itu, kita terbiasa merasa perlu hadir di setiap percakapan, meski tak selalu kita pahami.

Namun, justru dalam diam dan ketidakterlibatan itulah kita kerap menemukan keutuhan. Dalam sunyi, kita bertemu kembali dengan pikiran yang lama terlupakan, perasaan yang terabaikan, dan pertanyaan-pertanyaan jujur yang selama ini ditutupi oleh kesibukan.

Keheningan bukan bentuk kemunduran. Ia adalah keberanian untuk hadir bukan di dunia luar, melainkan di dalam diri sendiri. Dalam berbagai tradisi spiritual—dari para sufi di padang pasir hingga biksu Zen di pegunungan—hening bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan jalan menuju kedalaman. Suara hati menjadi lebih jernih, bahkan mungkin di sanalah Tuhan berbicara.

Ironisnya, keheningan kini kerap dicurigai—dianggap membosankan, tidak produktif, dan tidak menguntungkan. Padahal, justru dari ruang-ruang tenang inilah lahir ide besar, lompatan spiritual, dan cinta sejati. Kita hanya mampu menyerap ketika berhenti memproduksi suara.

Pagi hari seharusnya menjadi momen suci. Bukan hanya waktu untuk terjaga secara fisik, tetapi juga saat untuk sadar secara batin. Namun jika pagi diawali dengan keramaian digital, kapan kita sempat menyapa jiwa sendiri?

Mungkin, sudah saatnya kita belajar kembali cara untuk diam. Diam yang bukan karena takut, tetapi karena sadar. Duduk di teras tanpa ponsel. Menyeduh teh sembari menatap pohon. Mendengarkan hembusan angin seolah ia menyampaikan pesan langsung ke dalam jiwa.

Keheningan semacam ini tidak menjauhkan kita dari dunia, justru mendekatkan kita pada hidup. Cobalah sekali lagi. Sebelum membuka notifikasi, duduklah sejenak tanpa gangguan. Rasakan napasmu. Biarkan pagi menyapa kulitmu. Dengarkan suara alam yang tak pernah meminta untuk disukai atau dibagikan—barangkali di sanalah damai yang selama ini kita cari.

Hening bukan kekosongan. Ia adalah rumah. Dan mungkin, dalam dunia yang terus berteriak, pulang ke rumah adalah tindakan paling radikal yang bisa kita lakukan.<!--/data/user/0/com.samsung.android.app.notes/files/clipdata/clipdata_bodytext_250702_144439_479.sdocx-->