• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Keterbukaan Informasi Publik: Pilar Demokrasi yang Tak Boleh Retak

30 April 2025

161 kali dibaca

Keterbukaan Informasi Publik: Pilar Demokrasi yang Tak Boleh Retak

Dalam era di mana partisipasi publik menjadi napas demokrasi, keterbukaan informasi publik hadir sebagai fondasi yang tak bisa diabaikan. Bukan sekadar jargon transparansi, tetapi wujud nyata dari komitmen pemerintahan yang ingin berjalan bersama rakyatnya. Ketika informasi terbuka dan mudah diakses, masyarakat bukan lagi penonton pasif, melainkan mitra aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Di situlah tata kelola yang baik "good governance" bisa benar-benar tumbuh dan mengakar.


Tanggal 30 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Keterbukaan Informasi Nasional. Momentum ini menjadi pengingat pentingnya hak masyarakat untuk tahu—sebuah hak dasar yang menjadi fondasi tegaknya demokrasi. Di tengah arus informasi yang deras, keterbukaan informasi publik bukan lagi sekadar tuntutan, melainkan kebutuhan.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi langkah penting dalam memperkuat relasi antara pemerintah dan masyarakat. Undang-undang ini hadir sebagai jaminan kepastian, bahwa setiap orang memiliki hak untuk tahu, memahami, dan terlibat dalam urusan-urusan publik yang menyangkut hajat hidupnya.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat 1 dan 2, Badan Publik memiliki kewajiban untuk menyediakan dan menyampaikan informasi yang berada di bawah kewenangannya, sepanjang informasi tersebut bukan yang dikecualikan. Lebih dari itu, informasi yang diberikan pun harus akurat, benar, dan tidak menyesatka, karena di balik data dan dokumen itu, ada harapan masyarakat untuk dilibatkan, didengar, dan dihargai.

Melalui semangat keterbukaan inilah, kepercayaan dibangun. Masyarakat tidak sekadar menjadi penerima kebijakan, tetapi mitra dalam proses pembangunan. Bukan hanya karena aturan menuntutnya, tetapi karena demokrasi memang hidup dari keterlibatan yang tulus antara rakyat dan pemerintahnya.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah menjadi tonggak legal bagi setiap warga negara untuk mengakses informasi dari badan publik. Melalui keterbukaan ini, pemerintah diajak untuk bersikap transparan, akuntabel, dan terbuka terhadap pengawasan.

Ketika masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang benar, mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan bermakna dalam pengambilan keputusan publik. Informasi yang terbuka memungkinkan masyarakat mengawasi kebijakan, mengajukan kritik yang konstruktif, hingga ikut serta dalam pembangunan.

Sebaliknya, tanpa keterbukaan, ruang publik akan dipenuhi dengan spekulasi dan ketidakpercayaan. Demokrasi pun menjadi rapuh karena suara rakyat kehilangan dasar informasi yang kuat.

Keterbukaan informasi juga menjadi instrumen penting dalam membangun akuntabilitas. Badan publik yang transparan akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya karena merasa diawasi. Ini bukan soal takut, tapi tentang tanggung jawab. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan perlu diyakinkan bahwa sumber daya yang dikelola pemerintah digunakan dengan sebaik-baiknya.

Meski regulasi telah berjalan lebih dari satu dekade, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan. Tidak semua badan publik memiliki sistem informasi yang mudah diakses. Belum lagi budaya birokrasi yang masih enggan membuka diri. Padahal, keterbukaan bukan ancaman, melainkan kunci kepercayaan.

Keterbukaan informasi publik harus terus dijaga dan diperkuat. Pemerintah daerah, instansi vertikal, dan seluruh elemen masyarakat punya peran dalam membangun budaya transparansi. PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) harus didukung agar bekerja maksimal, sementara masyarakat perlu didorong untuk aktif menggunakan hak atas informasi.

Demokrasi yang sehat membutuhkan cahaya. Dan cahaya itu datang dari keterbukaan.