Ketika dunia berupaya mengurangi ketergantungan terhadap plastik konvensional, bioplastik muncul sebagai harapan baru. Berlabel “biodegradable” dan diklaim ramah lingkungan, bahan ini dipercaya mampu terurai secara alami tanpa mencemari bumi. Dari kantong belanja hingga sedotan minuman, bioplastik kini menjadi simbol gaya hidup hijau yang modern. Namun, serangkaian penelitian ilmiah dalam beberapa tahun terakhir mengungkap sisi lain dari bahan ini: bioplastik ternyata juga bisa menjadi sumber mikroplastik yang tidak kalah berbahaya.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP, 2024), sebagian besar bioplastik hanya dapat terurai dengan sempurna dalam kondisi tertentu, seperti suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang hanya terdapat di fasilitas pengomposan industri. Di luar kondisi tersebut—misalnya di laut, tanah terbuka, atau tempat pembuangan sampah biasa—bioplastik tidak benar-benar lenyap. Ia justru pecah menjadi serpihan kecil berukuran mikro, yang oleh para peneliti disebut sebagai biodegradable microplastics atau BMPs. Artinya, bahan yang dianggap “mudah terurai” ini sebenarnya meninggalkan jejak yang sama persisten dengan plastik konvensional, hanya dalam bentuk yang lebih halus dan sulit dideteksi.
Penelitian yang dimuat dalam Frontiers in Environmental Science (2023) menjelaskan bahwa sinar matahari, air, dan gesekan mekanis mempercepat proses pecahnya bioplastik menjadi mikroplastik, bahkan sebelum mikroorganisme sempat mengurainya. Secara ilmiah, bioplastik memang lebih rapuh dan mudah rusak, tetapi bukan berarti lebih cepat hilang. Proses degradasinya sering berhenti di tengah jalan, meninggalkan partikel mikro yang justru lebih sulit ditangani.
Riset lain yang dipublikasikan di jurnal Nature (2024) menemukan bahwa bioplastik melewati dua tahap degradasi. Tahap pertama adalah pemecahan kimia akibat panas dan oksidasi, sedangkan tahap kedua adalah penguraian biologis oleh mikroba. Masalahnya, di lingkungan nyata, tahap kedua sering tidak terjadi karena kondisi yang tidak mendukung, seperti suhu rendah atau minimnya populasi mikroorganisme pengurai. Akibatnya, bioplastik hanya terurai setengah jalan dan menghasilkan mikroplastik baru yang berpotensi mencemari tanah dan air.
Dampaknya mulai terlihat di berbagai ekosistem. Di lahan pertanian, penelitian oleh Zhou et al. (2023) menunjukkan bahwa lembaran bioplastik yang digunakan sebagai mulsa tanah menghasilkan partikel mikroplastik yang menurunkan aktivitas mikroba dan kesuburan tanah. Di laut, fragmen bioplastik yang terlepas akan tersuspensi dan termakan oleh plankton serta ikan kecil. Dalam jangka panjang, partikel-partikel ini dapat masuk ke rantai makanan dan berakhir di tubuh manusia.
Dampak terhadap kesehatan manusia pun mulai diteliti secara serius. Studi oleh Costa (2025) dalam MDPI Environmental Science menemukan bahwa partikel mikroplastik dari bioplastik berukuran nano dapat menembus membran sel dan menyebabkan stres oksidatif yang mengganggu metabolisme tubuh. Selain itu, bahan tambahan dalam bioplastik seperti pelarut dan plasticizer tetap bersifat toksik, sehingga efeknya terhadap tubuh tidak jauh berbeda dengan plastik konvensional. Bahkan, penelitian lain dalam Environmental Pollution (2023) menunjukkan bahwa mikroplastik dari bioplastik di tanah pertanian dapat meningkatkan penyebaran gen resistensi antibiotik, yang berpotensi memperburuk masalah kesehatan global.
Kenyataan ini menghadirkan ironi besar. Jika plastik konvensional bermasalah karena tidak dapat terurai, maka bioplastik menghadapi persoalan lain: ia memang terurai, tapi hanya separuh jalan. Tanpa sistem pengelolaan limbah yang benar, bioplastik justru pecah menjadi mikroplastik lebih cepat, memperluas masalah yang semula ingin diselesaikan. UNEP memperingatkan bahwa pelabelan “biodegradable” tanpa penjelasan yang memadai dapat menciptakan “rasa aman palsu” di masyarakat. Banyak orang beranggapan bioplastik aman dibuang sembarangan karena akan terurai, padahal kenyataannya bahan ini tetap menjadi polutan yang sulit dikendalikan.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa pergantian bahan bukanlah solusi utama. Mengganti plastik biasa dengan bioplastik tanpa perubahan sistem pengelolaan hanya akan memindahkan masalah dari satu bentuk ke bentuk lain. Para ahli lingkungan menekankan bahwa solusi sejati terletak pada perubahan perilaku dan sistem, bukan semata pada bahan. Pembangunan fasilitas pengomposan industri, standar pelabelan yang lebih ketat, serta edukasi publik tentang cara pembuangan yang benar menjadi langkah penting yang perlu dilakukan.
Lebih jauh lagi, upaya mengurangi konsumsi plastik sekali pakai dalam bentuk apa pun tetap menjadi cara paling efektif untuk melindungi bumi. Bioplastik memang diciptakan dengan niat baik, tetapi niat saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kesadaran pengelolaan yang bijak. Karena pada akhirnya, menjaga lingkungan bukan soal menemukan bahan baru, melainkan soal menemukan kebiasaan baru yang lebih bertanggung jawab.
Sebagaimana ditegaskan dalam laporan UNEP (2024), krisis plastik tidak akan selesai hanya dengan mengganti material. Solusi yang sebenarnya adalah mengubah cara manusia memproduksi, menggunakan, dan membuang plastik. Dunia tidak butuh lebih banyak plastik dalam bentuk baru, melainkan lebih banyak kesadaran dalam bentuk nyata. Dan mungkin, di situlah makna sejati dari kata “ramah lingkungan” sesungguhnya.