• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Bridging the Digital Divide: Komunikasi sebagai Jembatan Atasi Kesenjangan Sosial-Teknologi

24 Oktober 2025

157 kali dibaca

Bridging the Digital Divide: Komunikasi sebagai Jembatan Atasi Kesenjangan Sosial-Teknologi

Transformasi digital telah mengubah wajah dunia secara fundamental. Teknologi informasi dan komunikasi kini menjadi tulang punggung hampir seluruh aspek kehidupan—mulai dari pendidikan, ekonomi, pemerintahan, hingga hubungan sosial. Namun, di balik kemajuan ini, muncul fenomena yang disebut digital divide atau kesenjangan digital, yakni perbedaan akses, kemampuan, dan pemanfaatan teknologi antara kelompok masyarakat. Dalam konteks ini, komunikasi berperan penting sebagai jembatan untuk mengatasi ketimpangan sosial-teknologi yang kian melebar. Tanpa komunikasi yang inklusif, transformasi digital justru berisiko memperdalam jurang ketidaksetaraan di masyarakat.

Kesenjangan digital bukan sekadar soal akses terhadap internet atau perangkat teknologi, melainkan juga soal kemampuan untuk memanfaatkannya secara produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia, misalnya, masih terdapat perbedaan signifikan antara masyarakat perkotaan dan pedesaan dalam hal konektivitas digital. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna internet masih terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara masyarakat di daerah terpencil sering kali masih berjuang dengan keterbatasan infrastruktur jaringan. Perbedaan ini menciptakan dua dunia yang kontras: satu yang terkoneksi dan dinamis, dan satu lagi yang tertinggal dari arus informasi global.

Selain faktor infrastruktur, kesenjangan digital juga dipengaruhi oleh aspek sosial dan ekonomi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, pendapatan minim, atau lansia cenderung memiliki kemampuan digital yang terbatas. Mereka sering kali tidak memiliki literasi digital yang memadai untuk memahami cara kerja teknologi, risiko keamanan siber, atau bahkan cara memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan kualitas hidup. Akibatnya, mereka berisiko semakin terpinggirkan di era ekonomi digital yang menuntut kecepatan adaptasi dan inovasi. Dalam konteks inilah, komunikasi berperan sebagai penghubung antara teknologi dan manusia, antara modernitas dan tradisi, antara kemajuan dan keadilan sosial.

Komunikasi, dalam arti luas, bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi juga tentang membangun pemahaman dan kesetaraan. Melalui komunikasi yang efektif, masyarakat dapat dijembatani untuk memahami manfaat teknologi dan menggunakannya secara tepat. Pemerintah, akademisi, dan sektor swasta memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem komunikasi yang inklusif. Misalnya, program literasi digital yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan sesuai konteks budaya lokal akan lebih efektif daripada pendekatan yang seragam dan teknokratis. Komunikasi yang adaptif terhadap konteks sosial inilah yang menjadi kunci dalam memperkecil kesenjangan digital.

Selain itu, komunikasi juga berperan penting dalam membangun kesadaran kolektif bahwa teknologi harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Banyak masyarakat yang memandang digitalisasi hanya sebagai urusan teknis, padahal di baliknya terdapat dimensi sosial yang sangat besar. Ketika warga memahami bahwa teknologi bisa menjadi alat untuk memperkuat solidaritas, meningkatkan ekonomi lokal, atau memperluas akses pendidikan, maka adopsi digital tidak lagi bersifat top-down, melainkan tumbuh dari kesadaran bersama. Dalam hal ini, komunikasi berfungsi sebagai medium pembentuk nilai dan pemersatu visi dalam menghadapi perubahan zaman.

Kesenjangan digital juga erat kaitannya dengan isu partisipasi dalam pembangunan. Masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap informasi digital sering kali tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Mereka tertinggal dalam memperoleh informasi tentang kebijakan, peluang usaha, atau layanan publik yang kini banyak disalurkan secara daring. Akibatnya, suara mereka jarang terdengar dalam forum-forum demokrasi digital. Di sinilah pentingnya komunikasi yang bersifat partisipatif, di mana teknologi digunakan bukan hanya untuk menyebarkan informasi, tetapi juga untuk mendengar dan menampung aspirasi masyarakat yang terpinggirkan.

Dalam konteks pembangunan daerah, komunikasi digital bisa menjadi katalis untuk pemberdayaan masyarakat. Misalnya, melalui platform media sosial dan aplikasi pesan instan, petani dan nelayan kini dapat mengakses informasi harga pasar, cuaca, atau teknik budidaya modern. Namun agar hal ini berjalan efektif, dibutuhkan pendampingan komunikasi yang berkelanjutan. Pendampingan ini bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga menanamkan kesadaran kritis agar masyarakat tidak menjadi korban disinformasi atau penipuan digital. Dengan demikian, komunikasi berperan sebagai proses pembelajaran sosial yang terus berkembang, bukan sekadar transfer pengetahuan teknis.

Aspek penting lainnya adalah bagaimana media massa memainkan peran strategis dalam menjembatani kesenjangan sosial-teknologi. Media memiliki kekuatan untuk mengedukasi, menginspirasi, dan memotivasi masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan digital. Namun, agar peran ini optimal, media harus mampu mengedepankan jurnalisme inklusif yakni jurnalisme yang tidak hanya berbicara kepada kelompok yang sudah melek teknologi, tetapi juga kepada mereka yang masih berjuang memahami dunia digital. Misalnya, program televisi atau radio yang menyajikan edukasi digital secara sederhana dan kontekstual dapat menjadi sarana efektif dalam menjangkau lapisan masyarakat yang belum tersentuh internet.

Kesenjangan digital juga menimbulkan risiko baru dalam hal ketimpangan informasi. Mereka yang memiliki akses lebih luas terhadap teknologi cenderung lebih cepat memperoleh informasi, sementara kelompok yang tertinggal semakin bergantung pada sumber sekunder yang tidak selalu akurat. Jika hal ini tidak diatasi, maka masyarakat akan terbelah dalam dua realitas informasi: yang satu berbasis data dan pengetahuan, sementara yang lain berbasis rumor dan persepsi. Komunikasi berperan penting dalam mengoreksi ketimpangan ini dengan memastikan bahwa informasi publik disampaikan melalui berbagai kanal yang mudah dijangkau, baik digital maupun konvensional.

Untuk benar-benar menjembatani kesenjangan sosial-teknologi, komunikasi harus dipandang sebagai strategi pembangunan, bukan sekadar aktivitas pendukung. Pemerintah, misalnya, perlu mengembangkan kebijakan komunikasi publik yang menekankan keterbukaan informasi, dialog dua arah, dan penggunaan teknologi secara etis. Di sisi lain, masyarakat sipil dan organisasi nonpemerintah dapat berperan dalam memperluas jaringan komunikasi komunitas, menciptakan ruang belajar bersama, serta menghubungkan masyarakat dengan sumber daya digital yang relevan. Dengan sinergi yang kuat antara komunikasi dan teknologi, transformasi digital dapat berlangsung lebih merata dan berkeadilan.

Pada akhirnya, mengatasi kesenjangan digital bukanlah semata persoalan teknis, melainkan persoalan kemanusiaan. Esensi dari digitalisasi seharusnya bukan sekadar mempercepat pertukaran data, tetapi memperkuat jalinan sosial dan memperluas akses terhadap kesejahteraan. Komunikasi adalah ruh dari proses ini—ia menjadi jembatan antara yang tahu dan yang belum tahu, antara yang mampu dan yang masih belajar, antara pusat dan pinggiran.

Jika teknologi adalah alat, maka komunikasi adalah jiwa yang menghidupkannya. Melalui komunikasi yang inklusif, empatik, dan memberdayakan, masyarakat dapat melangkah bersama menuju dunia digital yang lebih adil. Jembatan kesenjangan sosial-teknologi hanya bisa dibangun jika komunikasi digunakan bukan sekadar untuk berbicara, tetapi juga untuk mendengar, memahami, dan menyatukan. Di situlah letak kekuatan sejati komunikasi dalam menghadapi tantangan digitalisasi: bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran dan solidaritas sebagai fondasi bagi masa depan yang setara dan manusiawi.