• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

29 September 2025

2 kali dibaca

Mencari Harapan

Harapan tak selalu datang dengan cahaya terang. Kadang ia bersembunyi dalam reruntuhan mimpi, di sela tangis yang tak terdengar, atau di balik doa yang sempat kehilangan arah. Kita mencarinya bukan karena kita lemah, tapi karena kita manusia—dan manusia tak pernah sepenuhnya berhenti percaya, meski pernah dikhianati kenyataan.

Ada hari-hari ketika segalanya terasa berat. Pagi datang seperti beban, bukan permulaan. Nafas pun terasa seperti tugas, bukan anugerah. Dalam sunyi itu, kita bertanya: Masih adakah harapan untukku? Masih adakah ruang di masa depan yang bisa aku singgahi tanpa luka?

Namun anehnya, harapan bukanlah sesuatu yang selalu harus datang dari luar. Ia seringkali tumbuh diam-diam dari dalam, dari puing-puing yang tersisa dalam diri kita. Setiap kali kita menangis tapi tetap melangkah, setiap kali kita patah tapi masih bernapas—di sanalah harapan lahir, bukan sebagai janji, tapi sebagai pilihan.

Banyak orang mengira harapan adalah semacam keajaiban yang jatuh dari langit. Padahal harapan sering kali lahir dari hal-hal yang sangat sederhana: seseorang yang mendengarkan kita tanpa menghakimi, sepotong lagu yang menyentuh sisi terdalam hati, atau cahaya lampu kecil yang tetap menyala di tengah malam panjang.

Dan terkadang, harapan tak datang sebagai rasa nyaman. Ia datang sebagai dorongan untuk berubah, untuk melepaskan sesuatu yang menyakitkan, atau menerima kenyataan yang sulit. Harapan tidak selalu memberi pelukan yang hangat—ia kadang datang sebagai tangan yang mengguncang bahu kita dan berkata, "Bangkitlah."

Dalam pencarian harapan, kita mungkin tersesat berkali-kali. Kita bisa salah menaruh harap pada seseorang, pada situasi, bahkan pada versi ideal dari diri kita sendiri. Tapi dari kesalahan-kesalahan itu, kita belajar: harapan yang paling kokoh adalah harapan yang tumbuh bersama kerendahan hati, bukan kesombongan untuk mengendalikan segalanya.

Mencari harapan juga bukan tentang melupakan luka, melainkan berdamai dengannya. Setiap bekas luka adalah bukti bahwa kita pernah mencoba. Bahwa kita pernah hidup. Dan seringkali, harapan paling murni justru lahir dari mereka yang telah kehilangan segalanya, namun masih memilih untuk mencintai hidup, walau dengan tangan yang gemetar.

Jika kau merasa tak ada yang bisa kau harapkan, ingatlah: ada banyak hal yang pernah kau lalui dan selamat darinya. Mungkin tidak sempurna, mungkin masih menyisakan perih, tapi kau tetap di sini. Masih hidup. Dan itu sendiri adalah keajaiban kecil yang layak dirayakan.

Dalam hidup, kita tak selalu bisa memegang kendali. Tapi kita selalu bisa memilih untuk percaya—bahwa esok punya tempat untuk kita, bahwa sakit ini suatu hari akan memiliki makna, dan bahwa langit tak pernah benar-benar menutup dirinya dari orang-orang yang mencarinya dengan tulus.

Jadi teruslah mencari harapan, walau pelan. Bukan untuk menghapus kesedihan, tapi untuk menemukan alasan baru agar tetap berjalan. Karena selama masih ada detak di dadamu, harapan belum mati. Ia hanya sedang menunggumu membuka pintu.