• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Menjaga Penyu, Menyemai Kesadaran

19 Oktober 2025

3 kali dibaca

Menjaga Penyu, Menyemai Kesadaran

Penyu laut telah menjadi saksi panjang kehidupan bumi selama lebih dari seratus juta tahun. Namun kini, keberadaannya kian berada di ujung tanduk. Di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, populasi penyu terus menurun akibat aktivitas manusia. Eksploitasi daging dan telur, tangkapan sampingan nelayan (bycatch), serta degradasi habitat pantai menjadi ancaman utama bagi kelestariannya.

Menurut Dr. Harfiandri Damanhuri, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, penyu adalah satwa yang sangat rentan terhadap eksploitasi. Pernyataan itu disampaikan dalam pelatihan yang diadakan oleh Laskar Pemuda Peduli Lingkungan Amping Parak di kawasan Konservasi Penyu Amping Parak, Kecamatan Sutera, pada 18 Oktober 2025, dengan tema “Pelaksanaan Konservasi Penyu Berbasis Masyarakat”.

“Penyu memiliki umur yang panjang, kematangan seksual yang lambat, dan tingkat reproduksi yang rendah. Ditambah lagi, mereka bermigrasi sangat jauh sehingga ancamannya bisa datang dari mana saja,” jelasnya di hadapan peserta pelatihan yang terdiri dari masyarakat, pelajar, dan pegiat lingkungan.

Dalam ekologi laut, penyu memegang banyak peran penting. Ia berfungsi sebagai pemangsa ubur-ubur, pengendali populasi biota tertentu, hingga insinyur lanskap laut yang membantu menjaga keseimbangan nutrisi di ekosistem. Penyu juga menjadi substrat bagi organisme kecil dan berperan dalam siklus hara laut. Jika populasi penyu hilang, maka stabilitas ekosistem laut pun ikut terganggu.

Kesadaran akan pentingnya penyu telah mendorong berbagai negara mengambil langkah konkret. Brasil, misalnya, sukses menjalankan program Projeto Tamar sejak 1980 sebuah gerakan riset dan konservasi penyu yang melibatkan masyarakat lokal. Selain melindungi satwa, program ini juga membuka peluang ekonomi melalui kerajinan tangan, pendidikan lingkungan, dan ekowisata.

Indonesia pun tak ketinggalan. Di sejumlah daerah pesisir, konservasi penyu telah menjadi gerakan bersama untuk menjaga warisan laut. Salah satu yang menonjol adalah di Nagari Amping Parak, Pesisir Selatan, yang kini dikenal aktif mengembangkan konservasi penyu berbasis masyarakat dan ekowisata bahari.

Dalam paparannya, Dr. Harfiandri menekankan bahwa keberhasilan konservasi penyu sangat bergantung pada keterlibatan masyarakat lokal. Mereka yang tinggal di pesisirlah yang paling memahami karakter lingkungan dan kebiasaan satwa laut di sekitarnya.

Pendekatan berbasis masyarakat berarti warga terlibat langsung dalam berbagai kegiatan, seperti identifikasi sarang, perlindungan habitat, patroli pantai malam, hingga pelepasan tukik ke laut. “Dengan memanfaatkan kearifan lokal, seperti peran tokoh adat dan tradisi pesisir, konservasi menjadi lebih hidup dan diterima oleh masyarakat,” ujarnya.

 

Kegiatan edukatif seperti festival penyu tahunan, kontes seni lingkungan, serta riset tagging dan tracking migrasi penyu juga terus dikembangkan. Semua itu tak hanya menumbuhkan kesadaran ekologis, tapi juga menanamkan rasa tanggung jawab terhadap alam di kalangan generasi muda.

Konservasi yang berkelanjutan membutuhkan dukungan ekonomi dan pengetahuan. Karena itu, Dr. Harfiandri mendorong terbentuknya lembaga sertifikasi dan pelatihan konservasi penyu serta ekowisata bahari. Lembaga ini akan menjadi pusat pembelajaran, pelatihan kader, serta penggerak ekonomi masyarakat.

Di Amping Parak, kolaborasi antara masyarakat, pemerintah daerah, universitas, dan komunitas telah membuahkan hasil nyata. Mereka mengembangkan ekowisata bahari terintegrasi, yang memadukan konservasi, riset, dan pariwisata edukatif. Selain menyaksikan penyu bertelur dan melepas tukik, wisatawan juga dapat menikmati keindahan terumbu karang, bangkai kapal bersejarah, hingga atraksi lumba-lumba dan paus yang melintasi kawasan laut setempat.

Budaya lokal menjadi pelengkap pengalaman wisata. Pengunjung disuguhi kehangatan tradisi seperti makan bajamba di daun pisang, pertunjukan seni pantai, serta pameran mini tentang dunia penyu dan kehidupan laut. Semua kegiatan ini membentuk konsep wisata yang ramah lingkungan sekaligus menguntungkan bagi masyarakat.

Tantangan konservasi penyu memang tidak sederhana. Aspek sosial, ekonomi, dan budaya sering saling bertaut. Namun dengan sinergi antara masyarakat, akademisi, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat atau yang dikenal sebagai pentahelix collaboration konservasi bisa menjadi gerakan berkelanjutan.

Dr. Harfiandri menegaskan pentingnya pendapatan alternatif bagi masyarakat, seperti pelatihan kerajinan tangan, kuliner khas, dan pengelolaan wisata. Selain itu, tata kelola yang transparan dan integrasi hukum adat dengan peraturan pemerintah menjadi fondasi kuat dalam menjaga keberlanjutan program konservasi.

“Konservasi penyu bukan hanya tentang melindungi satu spesies, tetapi tentang menjaga kehidupan pesisir yang menjadi sumber penghidupan kita bersama,” tutupnya.

Dari Amping Parak, semangat menjaga laut dan penyu kini bergema ke berbagai penjuru Pesisir Selatan. Di sinilah, antara pasir dan ombak, masyarakat belajar bahwa mencintai laut berarti menjaga masa depan.