Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa menghadapi tantangan besar dalam mengelola sampah dan memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Dua persoalan ini sering dianggap terpisah, padahal keduanya memiliki keterkaitan erat. Sampah yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan masalah lingkungan, mulai dari pencemaran sungai, timbulan emisi metana dari tempat pembuangan akhir, hingga kerusakan ekosistem laut. Di sisi lain, kebutuhan energi listrik terus bertambah seiring dengan pertumbuhan industri, perkembangan teknologi, dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk menjawab kedua persoalan ini sekaligus, Indonesia kini melirik waste-to-power, atau teknologi yang mengubah sampah menjadi sumber energi listrik, sebagai salah satu solusi strategis.
Proyek waste-to-power mulai mendapatkan perhatian serius setelah pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga menggariskan pentingnya transisi energi menuju sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan. Sebagai negara yang masih sangat bergantung pada batu bara, Indonesia menyadari bahwa ketergantungan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga tidak sejalan dengan komitmen global dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam konteks inilah, Danantara Indonesia, lembaga dana abadi negara, berinisiatif meluncurkan serangkaian proyek pembangkit listrik tenaga sampah. Proyek ini diharapkan menjadi langkah nyata dalam mempercepat peralihan menuju energi bersih sekaligus mengurangi timbunan sampah yang semakin hari semakin menggunung.
Konsep waste-to-power sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Beberapa negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Swedia, telah lama memanfaatkan teknologi ini untuk mengatasi masalah sampah perkotaan. Melalui proses pembakaran dengan teknologi ramah lingkungan atau metode biokonversi, sampah diubah menjadi energi listrik yang dapat disalurkan ke jaringan nasional. Di Indonesia, penerapan konsep ini masih terbatas, namun potensinya sangat besar mengingat negara ini menghasilkan lebih dari 60 juta ton sampah per tahun. Dengan kapasitas pengolahan yang tepat, bahkan satu fasilitas waste-to-power dengan input 1.000 ton sampah per hari bisa menghasilkan hingga 15 megawatt listrik. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik ribuan rumah tangga sekaligus mengurangi beban TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Pembangunan proyek waste-to-power juga diharapkan memberikan efek ganda. Pertama, mengurangi volume sampah yang kerap menjadi masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kedua, menghasilkan energi terbarukan yang dapat membantu Indonesia mencapai target bauran energi bersih. Dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap perubahan iklim, langkah ini tentu saja menjadi sinyal positif bahwa Indonesia tidak tinggal diam menghadapi tantangan global.
Namun, keberhasilan proyek ini tidak semata-mata terletak pada aspek teknologinya. Dukungan regulasi, pendanaan, serta partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk memastikan pasokan sampah ke fasilitas waste-to-power tetap konsisten dan sesuai standar. Pengelolaan sampah yang terintegrasi, mulai dari pemilahan di sumber, pengumpulan, hingga pengolahan akhir, perlu diperkuat agar proyek ini benar-benar efektif. Selain itu, perlu adanya transparansi dalam pengelolaan dana dan teknologi yang digunakan, agar masyarakat percaya bahwa proyek ini memang bermanfaat dan bukan sekadar proyek mercusuar.
Tantangan lain yang kerap muncul adalah resistensi masyarakat sekitar lokasi pembangunan fasilitas waste-to-power. Kekhawatiran mengenai polusi udara, bau tidak sedap, dan potensi dampak kesehatan sering kali memicu penolakan. Oleh karena itu, sosialisasi yang menyeluruh serta penerapan teknologi ramah lingkungan menjadi mutlak diperlukan. Teknologi pembakaran modern yang digunakan saat ini sudah dilengkapi dengan sistem penyaring emisi canggih, sehingga gas buang yang dilepaskan ke udara tetap memenuhi standar lingkungan internasional. Hal ini harus disampaikan secara jelas agar masyarakat tidak hanya melihat sisi negatif, tetapi juga memahami manfaat jangka panjangnya.
Selain aspek teknis dan sosial, proyek waste-to-power juga memiliki dimensi ekonomi yang penting. Dengan adanya fasilitas ini, pemerintah daerah dapat mengurangi biaya pengelolaan TPA, sekaligus memperoleh sumber energi baru yang bisa dijual ke PLN atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal. Jika dikelola dengan baik, proyek ini bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi daerah sekaligus membuka lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan dan pengelolaan sampah.
Di tengah transisi energi global, waste-to-power juga dapat menjadi bagian penting dari strategi diplomasi energi Indonesia. Dengan menunjukkan keseriusan dalam mengembangkan energi ramah lingkungan, Indonesia dapat meningkatkan posisinya di forum internasional seperti BRICS, G20, maupun forum iklim global. Lebih jauh, teknologi ini juga bisa menarik investasi asing yang ingin mendukung proyek-proyek berkelanjutan di negara berkembang.
Namun, yang paling penting adalah memastikan bahwa proyek ini tidak berhenti hanya pada tahap pembangunan fisik. Keberlanjutan harus menjadi kunci. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menjaga agar fasilitas ini beroperasi dengan optimal dalam jangka panjang. Program edukasi publik mengenai pemilahan sampah sejak dini juga harus berjalan beriringan, karena tanpa sampah yang terpilah dengan baik, efektivitas waste-to-power akan berkurang.
Pada akhirnya, proyek waste-to-power bukan hanya tentang mengubah sampah menjadi listrik, tetapi juga tentang mengubah cara pandang kita terhadap sampah itu sendiri. Dari yang semula dianggap masalah, sampah kini bisa dilihat sebagai potensi sumber daya. Dengan pengelolaan yang tepat, sampah bukan lagi beban, melainkan aset berharga bagi pembangunan berkelanjutan.
Melalui langkah ini, Indonesia menunjukkan bahwa transisi menuju energi bersih tidak harus selalu dimulai dari teknologi mahal atau rumit. Dengan memanfaatkan apa yang sudah ada—yakni timbunan sampah yang sering menjadi momok di kota-kota besar—Indonesia bisa melangkah lebih cepat menuju masa depan yang lebih hijau. Jika konsistensi dan kolaborasi terus terjaga, proyek waste-to-power akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju kemandirian energi dan lingkungan yang lebih bersih.