• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

29 September 2025

1 kali dibaca

Ragu adalah Pagar tapi juga Jeruji

Ragu sering hadir sebagai tanda batas—pagar yang melindungi kita dari langkah gegabah. Ia membuat kita berhenti sejenak sebelum menyeberang jalan, mempertimbangkan sebelum percaya, dan menimbang sebelum memilih. Dalam wajah ini, ragu adalah kebijaksanaan yang menyelamatkan kita dari luka yang mungkin timbul karena terburu-buru. Ia menjaga agar kita tidak terjerumus pada jurang yang tak terlihat.

Ragu selalu hadir di sela langkah manusia. Ia tidak pernah datang dengan suara keras, melainkan dengan bisikan pelan yang membuat hati menoleh ke dalam. Ada saat ketika ragu menjadi tanda kasih, sebuah pagar yang melindungi kita dari kemungkinan terjatuh.

Ragu kerap kali hadir tanpa permisi. Ia menumpang duduk dalam kepala, bersandar di dinding hati, dan kadang menetap lebih lama dari yang diinginkan. Namun tak selamanya ragu adalah musuh. Ia bisa menjadi pagar yang melindungi kita dari keputusan gegabah, namun pada saat yang sama, bisa pula menjelma jeruji yang mengurung langkah-langkah kita menuju kemungkinan yang lebih besar.

Ragu terkadang hadir bukan untuk melarang, melainkan untuk menguji seberapa dalam keyakinan yang kita genggam. Ia seperti kabut tipis di jalan pagi—membatasi pandangan, tetapi juga memaksa kita melangkah dengan lebih hati-hati. Dalam kabut itu, kita belajar membedakan mana cahaya yang benar-benar menuntun, dan mana bayangan yang hanya menyesatkan. Ragu, dengan demikian, bisa menjadi cermin yang memperlihatkan kepada kita: apakah keputusan yang kita ambil lahir dari ketakutan, atau justru dari keberanian yang telah matang.

Ragu juga bisa hadir sebagai ruang hening di antara dua kemungkinan. Ia membuat kita berdiam, menunggu sesuatu di dalam diri menemukan keberanian untuk berkata “ya” atau “tidak.” Dalam diam itu, jiwa berlatih mendengar suara yang lebih dalam—bukan hanya riuh logika, tapi juga getar hati yang sering tak terbantahkan. Maka ragu bukan sekadar jeda, melainkan pintu kecil menuju perjumpaan dengan diri sendiri, tempat kita belajar bahwa memilih bukanlah sekadar menyingkirkan satu jalan, melainkan merawat keyakinan pada jalan yang tetap kita pijak.

Ragu, pada saat tertentu, justru menjadi tanda bahwa kita sedang tumbuh. Ia muncul ketika langkah lama terasa sempit, sementara jalan baru masih samar. Di persimpangan itu, ragu memberi kesempatan bagi jiwa untuk meregang, menakar kekuatan, dan mempersiapkan diri. Tanpa ragu, mungkin kita akan berjalan di tempat, terjebak pada kenyamanan yang meninabobokan. Dengan ragu, kita dipaksa menatap kemungkinan lain, meski penuh ketidakpastian, agar akhirnya kita benar-benar memilih dengan kesadaran, bukan sekadar terbawa arus.

Ragu kadang seperti pintu yang setengah terbuka—membiarkan kita mengintip, tapi tidak segera masuk. Dari celah itu, kita bisa melihat kemungkinan lain, merasakan angin baru, tanpa harus terburu-buru melangkah. Justru di sana ada kebijaksanaan: memberi waktu bagi hati untuk meraba, bagi pikiran untuk menimbang, dan bagi jiwa untuk merasa. Sebab keputusan yang lahir setelah melewati ragu biasanya lebih kokoh, seakan sudah diuji oleh cahaya dan gelap sekaligus.

Ragu terkadang hadir seperti bayangan senja yang memanjang di jalan pulang. Ia tidak menghalangi langkah, tetapi membuat kita lebih sadar pada setiap jejak yang ditinggalkan. Dalam bayangan itu, kita belajar bahwa ketidakpastian bukan berarti kelemahan, melainkan tanda bahwa hati sedang mencari cahaya yang lebih jernih sebelum beristirahat pada malam.

Ragu bisa juga seperti sungai yang tenang di permukaan, namun menyimpan arus deras di kedalaman. Dari luar ia tampak sederhana—sekadar tanya kecil yang lewat—tetapi bila kita menyelam, ia membawa kita ke dasar yang penuh misteri. Di sanalah kita menemukan bahwa ragu bukan sekadar keraguan, melainkan pintu menuju pengetahuan yang lebih luas, bahkan kebijaksanaan yang tak akan muncul bila kita hanya berjalan di daratan pasti.

Ragu sering datang seperti tamu malam yang mengetuk pelan jendela—tidak kita undang, tapi kehadirannya membuat kita terjaga. Ia membuat pikiran berkelana ke segala arah, menimbang jalan yang sudah dilalui dan jalan yang belum ditempuh. Dalam ketukan itu ada pesan samar: jangan cepat-cepat percaya pada cahaya, karena tidak semua terang benar-benar membawa kita pulang. Ragu, pada akhirnya, adalah jeda yang mengingatkan bahwa langkah yang matang selalu lahir dari hati yang sempat menahan diri.