Di tengah hiruk pikuk kota yang semakin padat dan modern, masih ada sosok-sosok sederhana yang setia mengayuh roda tiga mereka, menembus panas terik dan deras hujan demi sesuap nasi. Mereka adalah tukang becak—pekerja keras yang menjadi bagian dari sejarah panjang transportasi rakyat Indonesia. Becak, dengan bentuknya yang khas dan kecepatan yang bersahaja, bukan hanya alat transportasi, melainkan simbol perjuangan, ketulusan, dan keuletan. Di era di mana kendaraan bermotor mendominasi jalanan, kehadiran becak seolah menjadi pengingat bahwa tidak semua hal harus berjalan cepat; ada nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dari kesabaran dan ketekunan.
Becak lahir di Indonesia sekitar awal abad ke-20 dan dengan cepat menjadi moda transportasi favorit masyarakat perkotaan. Ia menjadi sarana utama untuk mengantarkan orang dan barang sebelum bus, ojek, atau angkutan kota marak. Bagi sebagian masyarakat, terutama di daerah seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, atau Padang, becak bahkan memiliki nilai budaya tersendiri. Kayuhan roda tiga itu bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga tentang kisah-kisah manusia yang bergulir di atasnya. Dari penumpang yang hendak berangkat kerja, pedagang yang membawa dagangan, hingga anak sekolah yang diantar setiap pagi becak adalah saksi dari rutinitas dan dinamika kehidupan rakyat kecil.
Namun, kemajuan zaman membawa tantangan besar bagi para tukang becak. Kehadiran ojek online, kendaraan pribadi yang semakin banyak, dan sistem transportasi modern seperti bus kota serta angkutan daring, perlahan-lahan menggeser keberadaan becak dari jalanan utama. Banyak tukang becak yang kehilangan pelanggan, bahkan sebagian memilih beralih profesi. Meski demikian, tidak sedikit yang tetap bertahan. Bagi mereka, becak bukan sekadar pekerjaan, tetapi bagian dari identitas dan kehormatan. Mereka telah mengayuh bertahun-tahun, mengenal setiap sudut kota, dan menjadikan becak sebagai sahabat hidup yang setia menemani perjalanan waktu.
Keteguhan tukang becak dalam menghadapi perubahan zaman patut diapresiasi. Di tengah keterbatasan, mereka tetap bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada mesin yang membantu, hanya tenaga manusia dan semangat yang tak pernah padam. Di pagi hari, mereka mulai berkeliling mencari penumpang, menunggu di pangkalan, atau menjemput langganan tetap. Kadang dalam sehari hanya mendapatkan beberapa pelanggan, namun wajah mereka tetap ramah. Mereka tidak sekadar mengantar, tetapi juga menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang tulus. Dalam setiap kayuhan, ada peluh, doa, dan cinta terhadap kehidupan yang sederhana namun bermakna.
Menariknya, meskipun dianggap transportasi tradisional, becak memiliki keunggulan tersendiri yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh kendaraan modern. Becak ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi, mampu menjangkau jalan-jalan sempit di kampung kota, dan memberikan pengalaman perjalanan yang lebih santai. Di beberapa kota wisata seperti Yogyakarta dan Malang, becak bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana klasik kota. Banyak turis asing yang justru mengagumi becak karena keunikan dan nilai budayanya. Mereka melihat becak bukan hanya alat angkut, tetapi juga simbol kehidupan masyarakat Indonesia yang bersahaja dan penuh warna.
Pemerintah daerah di sejumlah kota mulai menyadari pentingnya melestarikan becak sebagai bagian dari identitas budaya. Program penataan kawasan wisata sering kali melibatkan becak sebagai transportasi ramah lingkungan. Ada yang memberikan bantuan perawatan, menyediakan seragam bagi tukang becak, atau bahkan memperkenalkan becak listrik untuk membantu mereka bekerja lebih efisien tanpa kehilangan nilai tradisionalnya. Upaya semacam ini menunjukkan bahwa modernisasi tidak selalu harus menyingkirkan tradisi, melainkan bisa berdampingan dengan cara yang lebih beradab.
Namun, di balik romantisme itu, realitas kehidupan para tukang becak tetap keras. Penghasilan yang tidak menentu, kondisi fisik yang melelahkan, serta kurangnya jaminan sosial menjadi persoalan yang tak mudah diatasi. Banyak di antara mereka yang sudah lanjut usia, namun masih mengayuh setiap hari demi keluarga. Bagi mereka, berhenti bukan pilihan. Ada tanggung jawab yang menuntun setiap kayuhan roda, ada harapan yang membuat mereka tetap berdiri meski tubuh tak lagi sekuat dulu. Kisah mereka adalah potret nyata keteguhan hati manusia yang berjuang melawan waktu dan keadaan.
Perlu adanya perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat terhadap kesejahteraan tukang becak. Bentuk dukungan tidak selalu harus berupa bantuan materi, tetapi juga penghargaan terhadap keberadaan mereka. Penataan rute khusus untuk becak, kebijakan perlindungan sosial, hingga pelatihan keterampilan tambahan dapat menjadi solusi jangka panjang. Dengan demikian, para tukang becak tidak hanya dipandang sebagai sisa masa lalu, tetapi sebagai bagian dari sejarah hidup yang masih berperan dalam wajah sosial Indonesia.
Masyarakat pun memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan becak. Menggunakan jasa becak, terutama di kawasan wisata atau pasar tradisional, adalah bentuk kecil penghormatan terhadap jerih payah mereka. Dalam setiap perjalanan dengan becak, kita diajak untuk melambat sejenak, menikmati irama kehidupan yang tenang, dan menghargai kerja keras orang-orang yang mungkin sering terabaikan. Dari kayuhan sederhana itu, kita belajar arti ketulusan dan kegigihan yang tidak lekang oleh zaman.
Becak, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan kita tentang makna ketekunan. Ia tidak berlari, tetapi terus bergerak. Ia tidak bersuara keras, namun meninggalkan jejak yang dalam di hati siapa pun yang pernah menaikinya. Roda tiga itu menjadi simbol perjuangan manusia yang tidak menyerah, bahkan ketika dunia berubah begitu cepat. Ia terus berputar, membawa cerita, harapan, dan kehidupan di setiap perjalanannya.
Di tengah modernisasi yang melaju tanpa ampun, para tukang becak tetap berdiri sebagai saksi hidup dari semangat rakyat kecil yang tak pernah padam. Mereka adalah pahlawan jalanan yang menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Selama masih ada roda becak yang berputar di sudut-sudut kota, selama itu pula semangat keteguhan akan terus hidup dalam denyut kehidupan bangsa ini. Becak bukan hanya transportasi ia adalah puisi tentang kerja keras, kejujuran, dan cinta yang terus dikayuh di tengah arus zaman.