• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

29 September 2025

9 kali dibaca

Seteru Menjadi Sekutu

Ada kalanya hidup menghadirkan lawan yang begitu nyata. Entah dalam bentuk perbedaan pendapat, persaingan, atau luka lama yang membuat dua pihak saling menjauh. Seteru adalah cermin dari ego yang tidak mampu menyatu, dan seringkali kita menganggapnya sebagai tembok yang mustahil untuk ditembus. Namun sejarah, bahkan pengalaman pribadi manusia, berkali-kali menunjukkan bahwa tembok itu bisa runtuh, dan yang tadinya musuh bisa menjadi teman seperjalanan.

Pertentangan pada dasarnya lahir dari perbedaan. Dua kepala yang tidak sama cara berpikirnya, dua hati yang tidak sejalan pandangannya. Perbedaan itu bisa melahirkan konflik, tetapi bisa juga menjadi peluang. Ironisnya, kita lebih sering terjebak dalam sisi konflik, lupa bahwa perbedaan adalah tanda bahwa kita saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Ada pepatah yang mengatakan, “Tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.” Pepatah itu biasanya dikaitkan dengan politik, tetapi sejatinya juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Dua orang yang saling membenci bisa menjadi sekutu saat mereka menemukan tujuan bersama. Musuh yang dulu menyakitkan bisa menjadi tangan yang menolong, saat keduanya sadar bahwa permusuhan hanya membuang energi yang seharusnya bisa dipakai untuk sesuatu yang lebih besar.

Kisah-kisah sejarah membuktikan hal ini. Negara yang pernah berperang habis-habisan di masa lalu kini bisa duduk bersama, berunding, bahkan membentuk aliansi ekonomi dan politik. Apa yang membuat mereka berubah? Kesadaran bahwa dunia lebih luas daripada sekadar dendam lama. Mereka belajar bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada siapa yang paling keras melawan, melainkan siapa yang paling bijak mengulurkan tangan.

Dalam lingkup pribadi, proses seteru menjadi sekutu seringkali lebih sulit. Ego, sakit hati, dan gengsi membuat manusia enggan mengalah. Kita lebih suka mempertahankan luka daripada membuka pintu maaf. Padahal, ketika kita mampu berdamai dengan orang yang dulu menyakiti, kita sebenarnya sedang berdamai dengan diri sendiri. Memeluk seteru adalah cara untuk membebaskan diri dari penjara kebencian.

Menjadi sekutu bukan berarti melupakan kesalahan yang pernah ada. Luka mungkin masih membekas, namun keinginan untuk maju bersama lebih besar daripada keinginan untuk terus mengungkit masa lalu. Itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Karena hanya orang yang kuat yang mampu memaafkan, dan hanya orang yang dewasa yang mampu menjadikan musuh sebagai mitra.

Seteru menjadi sekutu juga mengajarkan kita tentang perspektif baru. Saat kita melihat orang yang dulu dianggap musuh dari sisi yang berbeda, kita sering menemukan hal-hal yang sebelumnya luput dari perhatian. Ternyata ada kelebihan yang bisa kita pelajari, ada kekuatan yang bisa kita gabungkan. Dari situlah lahir sinergi, sesuatu yang mustahil jika kita tetap terkungkung dalam permusuhan.

Perubahan hubungan dari seteru menjadi sekutu tentu tidak terjadi dalam semalam. Ada proses panjang yang melibatkan kejujuran, keterbukaan, dan keberanian untuk saling mengakui kesalahan. Kadang ada perundingan, kadang ada air mata, dan sering ada rasa tidak nyaman. Namun justru dari ketidaknyamanan itulah tumbuh kepercayaan yang baru, lebih kokoh dibanding sebelumnya.

Dunia ini sudah cukup penuh dengan perpecahan, sehingga menambah seteru hanya membuat kita semakin lemah. Sebaliknya, merangkul perbedaan, menjadikan musuh sebagai teman, adalah langkah menuju kekuatan bersama. Tidak berarti semua perbedaan bisa disatukan, tapi setidaknya kita bisa memilih untuk tidak memperpanjang permusuhan.

Akhirnya, seteru menjadi sekutu adalah pelajaran hidup yang mengajarkan kerendahan hati. Bahwa kita tidak selalu benar, bahwa orang lain pun punya ruang dalam kebenaran mereka sendiri. Bahwa musuh bukanlah takdir, melainkan peran yang bisa berubah. Dan ketika kita mampu menjadikan seteru sebagai sekutu, kita telah membuka pintu menuju kedewasaan, kebijaksanaan, dan kekuatan yang sesungguhnya.