Hidup ini rapuh. Setiap detik yang kita jalani sesungguhnya dipinjamkan, bukan dimiliki. Ada yang datang ke dunia hanya sebentar, seolah singgah untuk meninggalkan jejak, lalu pergi. Ada yang diberi waktu lima tahun, tujuh belas tahun, bahkan delapan puluh tahun. Namun pertanyaannya tetap sama: **apakah kita benar-benar yakin bahwa mati itu pasti?.
Kenyataannya, sikap manusia terhadap kematian begitu beragam. Ada yang begitu takut, lalu memilih menepi, meramaikan masjid, meninggalkan gemerlap dunia. Ada pula yang seolah menutup mata, berjibaku mengejar duniawi, seakan kematian hanyalah persepsi, sesuatu yang masih jauh dan tak nyata.
Mungkin kita kurang membaca, kurang merenungi. Kita tahu ada penghakiman, ada akhir dari semua ini, tapi kenapa seolah biasa saja? Mengapa kita menunggu tua dulu agar rasa takut itu benar-benar meresap? Atau mungkin kita diam-diam merasa masih ada waktu panjang di depan, padahal siapa yang menjamin?
“Tak semua sampai menua” adalah pengingat bahwa kematian bukanlah sesuatu yang bisa kita tunda, apalagi tawar-menawar. Ia bisa datang kapan saja—di usia muda, di tengah kesibukan, di antara tawa dan rencana-rencana yang belum selesai.
Maka mungkin yang perlu kita lakukan bukan menunggu tua untuk bertobat atau meresapi takut, melainkan hidup dengan kesadaran penuh bahwa setiap napas bisa jadi yang terakhir. Bukan untuk membuat kita gelisah, tetapi agar kita tidak terlena.