Di era digital yang semakin maju, dunia pendidikan terus bergerak cepat. Aplikasi belajar bermunculan, video pembelajaran tersedia di mana-mana, dan kecerdasan buatan kini mampu menjelaskan materi dengan akurasi tinggi. Dengan segala kecanggihan ini, mungkin muncul pertanyaan penting: apakah guru masih dibutuhkan?
Pertanyaan itu terdengar modern, tetapi jawabannya tetap sama sejak dulu: guru akan selalu menjadi inti dari pendidikan. Teknologi boleh mengajar, tetapi hanya guru yang dapat membentuk karakter dan menumbuhkan manusia.
Di balik layar teknologi, ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan algoritma. Aplikasi belajar hanya dapat memberikan instruksi, bukan empati. Sistem digital bisa memberi nilai, tetapi tidak bisa memahami mengapa seorang anak tiba-tiba kehilangan semangat. Mesin dapat menjelaskan materi, tetapi tidak mampu merayakan keberhasilan kecil murid yang akhirnya memahami pelajaran setelah berjuang lama.
Inilah titik yang sering terlupakan: proses belajar bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi tentang emosi, motivasi, dan kemanusiaan. Dan semua itu hidup dalam diri seorang guru.
Seorang guru memutuskan kapan harus memotivasi, kapan harus menegur, kapan harus mendengarkan keluh kesah murid yang tampak berbeda hari itu. Mereka membaca bahasa tubuh yang tersirat, memahami perubahan nada bicara, hingga menangkap raut wajah yang mengisyaratkan ada sesuatu yang tidak beres. Mesin tidak memiliki kepekaan seperti itu.
Lebih jauh lagi, guru mengajarkan nilai-nilai yang tidak tersedia dalam perangkat apa pun: kejujuran, keberanian, kerendahan hati, disiplin, dan ketangguhan. Nilai-nilai ini bukan diajarkan melalui slide presentasi, tetapi lewat teladan, interaksi, dan hubungan yang tumbuh dari hari ke hari.
Teknologi hanya bisa memberi pengetahuan. Guru memberi arah.
Teknologi memberi jawaban. Guru menanamkan makna.
Teknologi mendukung proses belajar. Guru membentuk masa depan manusia.
Dalam banyak kasus, justru guru yang menentukan keberhasilan penggunaan teknologi. Tanpa guru yang kreatif dan adaptif, perangkat digital hanyalah benda mati. Guru-lah yang menghidupkan teknologi menjadi alat pembelajaran, bukan pengganti manusia.
Di tengah pesatnya perkembangan digital, kesadaran ini semakin penting untuk ditekankan pada Hari Guru: kecanggihan tidak akan pernah menggantikan sentuhan manusia dalam pendidikan. Teknologi hanyalah pendukung. Pusatnya tetap guru.
Oleh karena itu, merayakan Hari Guru bukan sekadar mengenang jasa mereka, tetapi menegaskan kembali bahwa peran guru adalah fondasi yang tidak tergantikan dalam membangun generasi. Di tangan merekalah bukan hanya ilmu ditransfer, tetapi masa depan dibentuk dan nilai-nilai kemanusiaan diwariskan.
Pada akhirnya, kemajuan teknologi mungkin mengubah cara belajar, tetapi tidak akan pernah mengubah satu kebenaran: manusia tumbuh dari hati ke hati, dan guru adalah jembatan terpenting dalam proses itu.