• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

21 September 2025

14 kali dibaca

Tutur Bertakar: Adab Kata dalam Masyarakat Minang 4

Bagian 4 – Kato Mandata

Sampailah kita pada bagian terakhir dari rangkaian Kato Nan Ampek yakni Kato Mandata. Setelah sebelumnya kita mengenal bahasa mendaki, menurun, dan melereng, kini kita belajar tentang langgam kata yang sejajar, sederhana, dan akrab. Dalam literatur adat Minangkabau, Kato Mandata didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang akrab dan memiliki status sosial yang sama, baik dari segi umur maupun kedudukan (Pls, n.d.). Ini adalah cara berkomunikasi yang menuntut saling menghargai meski berada pada posisi setara.

Falsafahnya tergambar dalam pepatah adat muluik manih kucindan murah, budi baiak baso katuju, lamak bak santan jo tangguli, pandai bagaua samo gadang, ingek rundiang kok mancucuak, jago sandiang kok malukoi. Artinya, berkata manis, sopan, dan penuh pertimbangan agar tidak menyinggung orang lain. Dalam konteks Kato Mandata, kesetaraan tidak berarti bebas berkata seenaknya. Justru, ia menuntut kehati-hatian, sebab hubungan yang sejajar lebih rentan terhadap gesekan jika komunikasi tak dijaga.

Dalam perspektif teori tindak tutur (Searle, 1975), Kato Mandata masuk ke ranah expressives dan commissives tindak tutur yang mencerminkan sikap dan komitmen antara pembicara dan lawan bicara. Ketika kita berkomunikasi dengan sesama, kita tidak hanya menyampaikan isi pesan, tetapi juga menghargai hubungan emosional yang sudah terbangun. Dengan demikian, Kato Mandata menjadi media untuk memelihara rasa persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat Minangkabau.

Dalam kehidupan sehari-hari, Kato Mandata muncul saat kita berbincang dengan teman sebaya, rekan kerja, tetangga, atau orang yang kita kenal dekat. Bahasa yang dipakai cenderung santai namun tetap sopan, disertai senyum dan intonasi yang bersahabat. Misalnya, saat berdiskusi tentang kegiatan nagari, dua orang pemuda akan memilih kata-kata yang menyejukkan meski berbeda pendapat. Di sini tampak bahwa Kato Mandata mengajarkan cara berdialog dengan rendah hati meski sama besar dalam status dan usia.

Makna yang lebih dalam dari Kato Mandata adalah penegasan bahwa kesetaraan sosial bukan alasan untuk meninggalkan adab. Dalam tradisi Minangkabau, meskipun kita setara, kita tetap berpegang pada raso jo pareso merasakan dan mempertimbangkan agar hubungan yang akrab tetap terjaga dengan baik. Dengan cara ini, Kato Mandata menjadi penutup yang manis dari rangkaian Kato Nan Ampek, melengkapi pelajaran berharga tentang bagaimana kata bisa menjadi alat perekat yang menguatkan jaringan sosial di masyarakat.

Sebagai bagian terakhir dari seri ini, Kato Mandata menegaskan pentingnya komunikasi yang penuh kesantunan, bahkan ketika kita berhadapan dengan sesama sebaya. Di era sekarang, ketika media sosial dan percakapan daring semakin dominan, nilai-nilai yang terkandung dalam Kato Mandata tetap relevan untuk membentuk ruang komunikasi yang sehat dan beradab. Dengan demikian, Kato Nan Ampek bukan hanya warisan adat, tetapi juga panduan etika komunikasi yang mampu menjawab tantangan zaman.