Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Tidak ada negara yang mampu tumbuh menjadi besar tanpa investasi yang serius di bidang pendidikan. Kesadaran inilah yang melatarbelakangi langkah pemerintah memperluas kebijakan wajib belajar menjadi 13 tahun, dari sebelumnya 12 tahun. Program ini menambahkan satu tahun pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai bagian penting dalam sistem wajib belajar nasional.
Kebijakan Wajib Belajar 13 Tahun tidak sekadar memperpanjang masa belajar, tetapi memperkuat fondasi tumbuh kembang anak sejak usia dini. Pemerintah ingin memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan pendidikan sejak pra-sekolah agar lebih siap secara emosional, sosial, dan kognitif sebelum memasuki jenjang sekolah dasar.
Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), hingga awal 2025 masih terdapat sekitar 4 juta anak usia 1–6 tahun di Indonesia yang belum mengenyam pendidikan PAUD. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD nasional baru mencapai 36 persen, menandakan masih banyak anak belum tersentuh layanan pendidikan anak usia dini.
Masalah akses ini semakin terasa di wilayah terpencil. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), tercatat 23 ribu desa di Indonesia belum memiliki layanan PAUD. Bahkan, di 44 kabupaten/kota, rasio satuan PAUD masih sangat rendah — kurang dari 40 persen desa memiliki fasilitas pendidikan anak usia dini. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pemerataan akses masih menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Sebagai respon, pemerintah telah menyiapkan Grand Design Wajib Belajar 13 Tahun, yang menitikberatkan pada tiga pilar utama: pemerataan akses, peningkatan mutu guru, dan penguatan regulasi. Kebijakan ini juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 sebagai prioritas strategis nasional untuk membangun fondasi pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
Untuk memastikan pelaksanaan berjalan efektif, pemerintah menyiapkan anggaran sekitar Rp37 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas PAUD baru, peningkatan kapasitas guru, dan penyediaan sarana belajar yang layak. Pemerintah menargetkan agar dalam lima tahun ke depan tidak ada lagi anak usia dini yang tidak bersekolah karena keterbatasan fasilitas.
Namun, memperluas akses tidak cukup tanpa peningkatan kualitas. Berdasarkan data Kemendikdasmen, baru sekitar 54,87 persen satuan PAUD yang memiliki akreditasi minimal B, sementara sisanya masih memerlukan pembinaan. Artinya, hampir separuh lembaga PAUD masih menghadapi kendala dalam hal kurikulum, tenaga pendidik, serta fasilitas pembelajaran.
Permasalahan tenaga pendidik juga menjadi fokus utama. Banyak guru PAUD di daerah belum memiliki latar belakang pendidikan anak usia dini. Padahal, masa usia emas (0–6 tahun) adalah periode krusial dalam pembentukan karakter, kemampuan kognitif, dan sosial anak. Tanpa guru yang kompeten, proses pembelajaran sulit mencapai hasil optimal.
Untuk mempercepat transformasi, pemerintah melibatkan banyak pihak. Setidaknya ada 11 kementerian/lembaga dan 15 unit kerja di lingkungan Kemendikdasmen yang berkolaborasi dalam pelaksanaan kebijakan ini. Kolaborasi lintas sektor diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga peningkatan kesejahteraan guru.
Selain peran pemerintah, dukungan orang tua dan masyarakat juga sangat penting. Pendidikan anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari lingkungan keluarga. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak di PAUD sejak dini harus terus dibangun agar program wajib belajar ini benar-benar berdampak luas.
Dengan memasukkan PAUD ke dalam sistem wajib belajar, anak-anak Indonesia akan memiliki awal yang sama dalam menempuh pendidikan. Mereka akan lebih siap menghadapi jenjang berikutnya dengan kemampuan literasi, numerasi, dan karakter yang lebih kuat. Hal ini menjadi pondasi penting bagi tercapainya sumber daya manusia unggul di masa depan.
Jika dijalankan secara konsisten, Wajib Belajar 13 Tahun akan menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Program ini bukan hanya soal menambah tahun belajar, tetapi tentang menyiapkan generasi yang lebih cerdas, sehat, dan berkarakter — generasi yang akan membawa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045, di mana setiap anak mendapat hak yang sama untuk belajar dan berkembang sejak dini.