Painan, April 2013. "Berburu" burung Muarai Hijau, saat musim kayu gadis (Sejenis pohon beringin berbuah manis) berbuah menjadi pekerjaan yang menarik bagi sebagian kecil masyarakat Pesisir Selatan. Termasuk burung langka, misalnya murai batu, ketilang jenggot. Terutama mereka yang tinggal tidak jauh di pinggir hutan.
Menggiurkan memang. Betapa tidak untuk seekor burung kutilang daun yang tergolong family pignonotidae oleh tukang pikat, bisa dijual seharga Rp 200.000. Namun jika telah bisa menyesuaikan dengan makanan pabrikasi harganya bisa mencapai Rp 700 ribu hingga Rp 1.000.000, tergantung kualitas burung tersebut.
Belum lagi murai batu (Copsychus malabaricus) termasuk ke dalam family turdidae yang merdu suaranya tersebut. Murai batu merupakan burung berkicau paling populer. Termasuk ke dalam . Tersebar di seluruh pulau Sumatera dan banyak pula di kawasan hutan Pesisir Selatan. Jenis yang dianggap terbaik adalah Murai Batu Medan. Hanya saja tindakan eksploitasi hutan berlebihan dan perburuan untuk kepentingan komersial membuat jenis ini sulit ditemui di pasaran.
Burung jenis ini laris dijual seharga Rp 2000.000 per ekor, namun burung yang baru terpikat bisanya dijual seharga Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu. Ia hidup dihabitat hutan yang dekat dengan anak sungai.
Tak peduli hambatan untuk mendapatkan burung burung langka ini begitu besar, misalnya harus mengarungi rimba, kemudian memanjat pohon kayu gadis yang berbatang besar dan tinggi pula. Para pemikat tidak pula pernah tahu burung yang sedang ia incar adalah burung langka dan dilindungi.
Pekerjaan memikat burung ternyata telah mendatangkan pekerjaan bagi warga di pinggir hutan, termasuk muncul pula para juragan burung yang bertindak sebagai pengumpul, untuk selanjutnya berbagai jenis burung dijual ke Padang atau kedaerah lain.
Salah seorang Pemikat Burung di Lengayang yang tidak bersedia disebutkan namanya kepada penulis mengaku, bila musim kayu gadis berbuah, maka setiap pergi memikat selam dua hari bisa mendapatkan 80 ekor burung ketilang hijau. Dan jika tidak ada yang mati, menurutnya bisa membiayai sekolah anak anaknya.
"Namun, kayu gadis hanya berbuah satu kali dalam setahun. Lamanya musim berbuah sekitar satu hingga dua bulan saja. Selama itu pula para pemikat burung akan panen, tidak peduli harus masuk hutan," ujar pemikat tersebut.
Jika tidak musim kayu gadis, biasanya kawanan burung berwarna bulu hijau ini akan bermigrasi ke -daerah lain yang banyak sumber makanan pengganti. "Bukan berarti burung ini tidak ada, hanya saja pemikat mendapatkan satu atau dua ekor burung saja," ujarnya.
Maka menurut keterangan pemikat burung alternatif lain adalah memburu burung muari batu yang mahal harganya tersebut. Murai batu mendapatkannya agak sulit, karena hidup dihulu hulu sungai. "Selain jumlahnya memang tidak banyak, maka murai batu merupakan burung yang sulit beradaptasi dengan sangkar. Masa masa kritis pasca dipikat sekitar satu minggu, jika tidak mati maka burung tersebut ada harapan akan selamat," ujar pemikat tersebut.
Alternatif lain bagi pemikat burung adalah, memikat burung jenis ketilang jenggot atau lebih dikenal sebagai barabah jenggot. Burung ini populasinya tidak terlalu jauh di dalam rimba, namun meski begitu tantatangan untuk mendapatkannya juga berat.
"Umumnya para pemikat tidak terlalu tertarik pada burung jenis ini, karena harganya tidak semahal muarai batu atau ketilang daun," ujar bapak tiga anak tersebut menjelaskan.
Demikianlah kehidupan para pemikat burung di Pesisir Selatan. Disatu sisi, kelestarian burung terancam, namun disi lain, dengan memikat burung bisa pula mengatasi persoalan dapur warga yang tinggal di pinggir hutan.(09)(09)