• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

11 September 2013

226 kali dibaca

Harga TBS Dipengaruhi Mutu Bibit

Painan, September 2013-Harga sawit sangat dipengaruhi mutu bibit. Kualitas TBS yang hasil kebun petani Pessel umumnya tergolong pada kelas batu dan banci.

Terkait dengan bibit sawit yang ditanam warga di Pessel Kepala Dianas Pertanian Tanaman Pangan,Hortikultura Peternakan dan Perkebunan Pessel Afrizon Nazar menyebutkan, sulit memang memantau asal usul bibit sawit yang ditanam petani daerah itu.

"Bibit yang ditanam bahkan juga ada yang berasal dari buah yang jatuh lalu tumbuh. Tanaman sepertiini banyak yang dirawat petani.Jika ini yang terjadi maka dipastikan mutu TBS-nya kurang bangus," kata Afrizon Nazar.

Disebutkannya, untuk menghasilkan TBS super atau kualitas dura, maka asalusul bibit yang ditanam harus dari pengelola bibit yang terakreditasi. Dan tentu untuk mendapatkannya perlu prosedur yang harus diikuti petani.

"Jadi agar petani tidak merugi,kami menyarankan tanamlah saewit daribibit yang jelas dan telah melalui proses pembibitan sesuai dengan aturan,"katanya lagi.

Terpantau Harga Sawit Rendah

Pantauan media ini Selasa (10/9) petani sawit di Kambang dan Sutera, menjual tandan buah sawit segar (TBS) menjual seharga Rp600 per kilogram. Sementara darihasil penjualan itu, petani tidak bisa menutupi biaya produksi.

Menurut Yuang Itan (60) petanisawit di Kambang Harapan, sebelum jatuh, harga sawit sempat dibeli tauke Rp850 perkilogram, namun dalam tempo beberapa minggu saja langsung turun keharga yang tidak menguntungkan petani.

“Padahal dengan menjual seharga Rp850 petani juga kesulitan menutupibiaya produksi dan biaya kebutuhanlainnya. Kini saya menjual sawit seharga Rp600 perkilogram kepada tauke, harga itu relatif stabil sejak seminggu terakhir,” ujarnya.

Sementara Anwar (55), petani sawit Amping Parak menyebutkan, pihak tauke sawit tidak pernah menje­laskan alasan turunnya harga sawit tersebut. Namun akibat terpaksa sawitnya tersebut dijual dengan harga rendah.

Sementara ada warga yang tidak mau menjual sawitnya. Mereka membiarkan sawitnya membusuk. Misalnya Idal (51) warga Kambang. Ia menyebutkan, sawitnya harus terjual dengan harga Rp700 perkilogram. “Kalu tauke tidak mau membeli dengan harga seperti itu saya tidak jual. Biarlah buah sawit itu jatuh sendiri dari batang­nya,” katanya.

Ia mengaku mengaku, dengan menjual sawit seharga Rp700, ia tetap tidak memperoleh keuntungan. Hasil sawitnya hanya cukup untuk biaya pemeliharaan dan biaya opera­sional selama panen.

Sementara, Epi (35) salah seorang tauke pengumpul menyebutkan, harga buah sawit di perusahaan memang sedang anjlok, maka terpaksa ditingkat petani harga swit juga ditu­runkan.

“Dengan membeli Rp600, keuntungan yang diperoleh hanya cukup untuk biaya operasional. Sawit yang dibeli dari petani, nanti saya jual pula ke tauke induk semang. jadi keuntungan sangat tipis,” kata Epi.
Selanjutnya Koperasi petani sawit yang ada di Kambang dan kawasan sekitarnya hingga kini belum mampu meme­cahkan persoalan anjloknya harga sawit.Warga Pesisir Selatan berharap, di daerah itu dibangun pabrik pengolah CPO baru, dengan demikian bila produksi berlimpah tidak terjadi penumpukan produksi dan turunnya harga sawit. (09)(09)