Bagian 2: Sumbang Tagak
Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Apa makna dari sebuah cara berdiri? Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya soal posisi tubuh semata. Namun di Minangkabau, berdiri bukanlah perkara sepele. Ia adalah cermin dari budi, lambang dari harga diri, dan isyarat dari keanggunan yang dijaga dengan penuh kesadaran. Dalam budaya yang sarat nilai dan diikat oleh adat nan bersendi syarak, bahkan gerak diam seorang perempuan pun ditimbang dengan rasa. Di sinilah letak makna Sumbang Tagak, sebuah ajaran yang tak hanya mengatur cara berdiri, tapi juga cara menghormati diri sendiri dan orang lain.
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan mengenai Sumbang Duduk, yang menekankan pentingnya adab dalam cara perempuan Minangkabau menempatkan diri saat duduk sebagai simbol kesantunan, ketenangan, dan kehormatan. Nilai-nilai itu tak berhenti di situ saja. Kini, pembahasan berlanjut pada bentuk lainnya, yakni Sumbang Tagak/berdiri, yang mengatur etika berdiri bagi seorang perempuan. Meski tampak sederhana, posisi berdiri ternyata menyimpan makna dalam dalam pandangan adat dan agama. Ia bukan hanya tentang fisik yang tegak, tetapi juga tentang sikap batin yang tahu menempatkan diri dan menjaga marwah dalam setiap geraknya sebagai cerminan harga diri, rasa malu, dan kehormatan.
Secara esensial, Sumbang Tagak mengajarkan perempuan Minangkabau untuk menjaga etika berdiri sebagai cerminan kesantunan, penghormatan terhadap orang lain, serta bentuk pengendalian diri yang melambangkan keanggunan. Dalam konteks budaya yang menjunjung tinggi nilai malu sebagai pengontrol perilaku, posisi berdiri bukan sekadar sikap fisik, melainkan juga simbol integritas perempuan.
Mengutip pendapat Idrus Hakimy Dt. Rajo Panghulu dalam bukunya Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, disebutkan bahwa terdapat beberapa bentuk perilaku berdiri yang dinilai sumbang menurut adat Minangkabau. Misalnya Sumbang bagi seorang wanita berdiri di tangga, ditepi jalan, di samping jalan tanpa ada keperluan dan maksud yang tertentu untuk suatu kepeningan yang wajar, sumbang berdiri dengan laki-laki lain, begitupula sumbang berdiri dengan laki-laki walaupu famili seperti ditempat lengang (sepi), sunyi dan gelap.
Larangan berdiri atau berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram, terlebih lagi di tempat yang sepi atau rawan fitnah, bukan hanya merupakan bentuk sumbang dalam adat, tetapi juga jelas dilarang dalam ajaran agama Islam. Dalam pandangan Minangkabau, adat dan agama tidak pernah berjalan sendiri-sendiri keduanya saling menguatkan. Seperti pepatah yang telah menjadi pedoman turun-temurun "Syarak mangato, adat mamakai", yang berarti syarak (agama) yang menetapkan hukum, adat yang melaksanakan.
Dengan demikian, larangan dalam adat bukan sekadar konstruksi budaya, tapi memiliki dasar kuat dalam syariat. Agama Islam sangat menekankan pentingnya menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam interaksi sosial, untuk mencegah kemaksiatan dan melindungi kehormatan masing-masing. Dalam konteks Minangkabau, prinsip ini tidak hanya menjadi nilai moral, tetapi juga menjadi identitas dan marwah kaum perempuan, terutama mereka yang dipandang sebagai bundo kanduang penjaga martabat dan nilai luhur dalam rumah gadang.
Mengabaikan larangan ini bukan saja membuka peluang pada fitnah dan pelanggaran sosial, tetapi juga mencederai nilai keislaman dan adat itu sendiri. Maka, kesantunan dan kehati-hatian dalam bersikap bukan sekadar bentuk sopan santun, melainkan cermin dari pemahaman mendalam terhadap falsafah hidup orang Minang “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Dalam perspektif Islam, prinsip yang mendasari larangan-larangan ini sejalan dengan ajaran untuk menjaga kehormatan dan menghindari fitnah. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 30–31, yang menyerukan kepada laki-laki dan perempuan beriman untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Sikap berdiri yang tidak elok, terutama di tempat umum atau dengan lawan jenis bukan mahram, bisa menjadi pintu masuk bagi pandangan yang tidak terjaga dan bisikan syaitan. Maka, adat Minangkabau yang menanamkan sumbang tagak ini juga dapat dipahami sebagai bentuk internalisasi nilai-nilai Islam dalam konteks budaya lokal.
Nilai-nilai dalam Sumbang Tagak sesungguhnya mengajarkan sensitivitas sosial, pengendalian diri, dan kesadaran spiritual dalam ruang publik. Dengan demikian, bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga tentang menjaga nama baik, kehormatan keluarga, dan keselamatan diri dalam bingkai adat yang selaras dengan nilai-nilai Islam dan kebijaksanaan psikologis.
Sebagai bagian dari Sumbang Duo Baleh, larangan berdiri sembarangan bagi perempuan Minangkabau bukan sekadar aturan adat yang kaku, melainkan cerminan dari kearifan lokal yang berpadu erat dengan nilai-nilai Islam. Etika berdiri ini mengajarkan perempuan untuk menjaga diri, memperhatikan kehormatan, dan menghindari situasi yang dapat mengundang prasangka atau fitnah.
Ketika aturan adat dan ajaran agama dijalankan secara seimbang, maka terbentuklah pribadi yang anggun, terhormat, dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menjauhi yang sumbang berarti menjaga marwah dan masa depan, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan nagari. Adat yang tak bersendikan syarak akan pincang, dan syarak yang tak dipakai oleh adat akan kehilangan pijakan. Di antara keduanya, perempuan adalah penjaga nilai, pemelihara marwah, dan cahaya rumah gadang.