• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

08 Juli 2025

71 kali dibaca

Laku Beradab: Jejak Adat dalam Gerak Perempuan Minang 7

Bagian 7: Sumbang Karajo (Pekerjaan)

Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos

Dalam falsafah adat Minangkabau, perempuan dimuliakan bukan karena ia ditempatkan di atas takhta, melainkan karena ia dijaga, dihormati, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur yang menjadikannya berharga. Salah satu bentuk pemuliaan itu adalah dalam hal pekerjaan. Adat memberi ruang bagi perempuan untuk bekerja, namun tidak dalam bentuk bebas tanpa batas, melainkan dengan adab dan kebijaksanaan yang menjaga fitrah serta martabatnya.

Sumbang karajo, sebagaimana disebut dalam ajaran adat, adalah larangan bagi perempuan dalam memilih atau menjalani pekerjaan yang tidak selaras dengan kodrat, kemampuan fisik, maupun posisi sosialnya sebagai perempuan. Pekerjaan yang dipilih bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kehormatan. Maka adat memandang bahwa perempuan Minangkabau sepatutnya bekerja di bidang-bidang yang halus, ringan, dan tidak memberatkan fisik maupun menjatuhkan martabatnya. Menjarum, menjahit, bertenun, memasak, menjadi guru, pegawai, atau pengelola rumah tangga semua itu adalah pekerjaan yang tak hanya layak, tapi juga menunjukkan keanggunan dan keterampilan yang menjadi kebanggaan perempuan Minang.

Sebaliknya, sumbanglah bagi perempuan jika ia memilih pekerjaan yang pada umumnya hanya dikerjakan oleh laki-laki, seperti mengangkat barang berat, memanjat, berlari-lari dalam pekerjaan kasar, atau pekerjaan lapangan yang menuntut tenaga besar dan resiko fisik tinggi. Tentu saja, adat tidak kaku dan menutup kemungkinan. Namun semua itu harus diukur dengan prinsip mungkin dan patut—apakah pantas, layak, dan tidak merusak citra serta keseimbangan nilai-nilai adat dan agama yang telah dijaga turun-temurun.

Hakimy (2004) juga menegaskan, bahwa dalam adat Minangkabau, perempuan diberikan kemuliaan dan penghormatan di antaranya dengan jenis pekerjaan yang pada umumnya ringan dan sesuai fitrahnya. Inilah bentuk penghargaan, bukan pembatasan. Sebab, menjaga perempuan dari pekerjaan kasar dan berat bukan berarti mengekangnya dari peran publik, melainkan melindunginya dari hal-hal yang dapat melemahkan kodrat kewanitaannya, baik secara fisik maupun mental.

Dalam Islam, prinsip ini juga sejalan. Perempuan boleh bekerja dan berkiprah di ranah publik, selama tetap menjaga adab, aurat, dan nilai-nilai syar’i. Islam menuntun bahwa perempuan bukan hanya makhluk rumah, tetapi juga cahaya masyarakat. Namun cahaya itu akan meredup jika ia dibebani peran yang melelahkan lahir batin, yang tidak sesuai dengan sifat lembut, sabar, dan keibuan yang dikandung dalam fitrahnya. Maka memilih pekerjaan yang selaras dengan kemampuan, menjaga kehormatan, dan menumbuhkan manfaat adalah wujud dari kecerdasan dan kebijaksanaan perempuan dalam membingkai dirinya.

Pada akhirnya, sumbang karajo bukan soal boleh atau tidaknya bekerja, tapi soal arah dan cara seorang perempuan memperjuangkan perannya. Perempuan Minang yang sejati adalah ia yang tetap anggun dalam kerja, beradab dalam pilihan, dan mulia dalam kontribusinya baik di ranah rumah maupun ruang publik. Sebab kehormatan bukan hanya tentang di mana ia berada, tetapi bagaimana ia menjaga dirinya tetap dalam lindungan adat dan sinaran syarak.