• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

10 Juli 2025

74 kali dibaca

Laku Beradab: Jejak Adat dalam Gerak Perempuan Minang 8

Bagian 8: Sumbang Tanyo dan Sumbang Jawab (Etika Bertanya dan Menjawab)

Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos


Lidah tak bertulang, namun darinyalah kehormatan dapat terjaga atau justru terlepas. Bagi perempuan Minangkabau, berkata bukan sekadar mengucap, tapi sebuah seni yang memadukan logika, rasa, dan tata krama yang diwariskan dari leluhur. Maka dalam falsafah adat, lahirlah ajaran Sumbang Tanyo dan Sumbang Jawab: pedoman agar setiap pertanyaan maupun jawaban disampaikan dengan penuh kehati-hatian, agar tidak menggores hati atau merusak harmoni.

Sumbang tanyo berarti bertanya tanpa adab baik karena pertanyaannya tidak pada tempatnya, nadanya menyinggung, atau waktunya tidak tepat. Bertanya sembarangan, apalagi kepada laki-laki yang bukan mahram, baik ia kerabat ataupun bukan, adalah hal yang mesti dijaga. Salah bertanya bisa melahirkan salah paham, dan salah paham kerap menjadi pangkal pertengkaran, perpecahan rumah tangga, bahkan permusuhan dalam kaum. Tak heran jika petuah adat berkata, "Murah kato takatokan, sulik kato jo timbangan." Bertutur memang mudah, tapi tidak semua kata layak diucapkan.

Demikian pula dengan sumbang jawab. Jawaban yang tergesa, bernada tinggi, atau disampaikan dalam kondisi batin yang tidak tenang bisa menyulut api yang tak diundang. Seringkali, bukan isi jawabannya yang salah, tapi caranya yang menyalahi adab. Dalam dunia di mana lidah bisa lebih tajam dari senjata, perempuan diajarkan untuk mengontrol ucapannya sebagaimana ia menjaga pakaiannya penuh kehormatan, dan penuh pertimbangan.

Ajaran ini berpadu selaras dengan nilai-nilai Islam. Dalam surah Al-Ahzab ayat 32, Allah memperingatkan istri-istri Nabi Muhammad dan para mukminah setelahnya agar tidak melembut-lembutkan suara ketika berbicara dengan laki-laki non-mahram, karena kelembutan yang dibuat-buat bisa menimbulkan desakan syahwat dari hati yang sakit. Sejumlah ulama seperti Al-Qurthubi dan Quraish Shihab menjelaskan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk mencegah gaya bicara genit, centil, atau manja yang bisa memancing fitnah. Maka, menjaga intonasi, pemilihan kata, serta batas interaksi menjadi bagian dari kesalehan perempuan.

Lebih jauh lagi, Islam mengingatkan bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam surah Qaaf ayat 17–18 disebutkan bahwa di kanan dan kiri manusia ada malaikat pencatat, yang tak pernah luput mencatat setiap ucapan. Rasulullah ? bahkan bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." Maka perempuan yang bijak adalah ia yang menimbang setiap kalimat dengan hati-hati, karena tahu bahwa satu kata bisa menjadi pahala, namun juga bisa berubah menjadi fitnah yang mencederai.

Kini, di era digital yang serba terbuka, sumbang tanyo dan sumbang jawab tak lagi hanya berlangsung di ruang nyata. Di kolom komentar, dalam percakapan daring, di grup-grup perpesanan, lidah berganti menjadi jari namun tanggung jawabnya tetap sama. Pertanyaan-pertanyaan bersifat pribadi, jawaban sarkastik, gurauan yang menyinggung, hingga komentar yang menyulut konflik semua itu adalah wajah baru dari sumbang komunikasi yang justru lebih luas jangkauannya. Maka perempuan Minangkabau dituntun untuk tetap anggun dalam tutur, tak hanya ketika berbicara langsung, tetapi juga dalam menuliskan pendapatnya di ruang maya.

Akhirnya, sumbang tanyo dan sumbang jawab bukan sekadar ajaran tentang bagaimana bertanya dan menjawab. Ia adalah pelatihan jiwa untuk senantiasa bertindak dengan pertimbangan akal dan adab. Lidah yang dijaga adalah kunci dari pergaulan yang sehat dan mulia. Dan bagi perempuan Minangkabau, berkata dengan etika adalah bentuk lain dari menjaga harga diri, menebar kesejukan, serta menabur hormat dalam setiap silaturahmi yang dijalin.