• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Literasi Media: Senjata Ampuh Masyarakat Menghadapi Gelombang Disinformasi dan Misinformasi

23 Oktober 2025

19 kali dibaca

Literasi Media: Senjata Ampuh Masyarakat Menghadapi Gelombang Disinformasi dan Misinformasi

Di era digital yang serba cepat dan penuh dengan arus informasi, kemampuan untuk memilah dan memahami informasi menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi masyarakat modern. Setiap detik, ribuan bahkan jutaan konten baru muncul di media sosial, situs berita, dan platform digital lainnya. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar mengandung kebenaran. Banyak di antaranya merupakan hasil rekayasa, manipulasi, atau bahkan sengaja dibuat untuk menyesatkan publik. Di sinilah pentingnya literasi media, kemampuan individu untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi secara kritis — sebagai senjata utama dalam menghadapi disinformasi dan misinformasi yang kian merajalela.

Disinformasi dan misinformasi merupakan dua istilah yang sering kali digunakan secara bergantian, padahal keduanya memiliki makna berbeda. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat tanpa adanya niat jahat dari penyebarnya. Contohnya, seseorang membagikan berita palsu karena ia sendiri percaya bahwa informasi tersebut benar. Sedangkan disinformasi adalah penyebaran informasi palsu dengan tujuan tertentu, seperti memengaruhi opini publik, menjatuhkan reputasi seseorang, atau menciptakan ketegangan sosial dan politik. Disinformasi sering kali digunakan sebagai alat propaganda, baik oleh individu, kelompok, maupun entitas politik yang memiliki kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, literasi media berperan penting sebagai benteng pertama yang melindungi masyarakat dari jebakan informasi palsu tersebut.

Literasi media tidak hanya tentang kemampuan membaca berita atau memahami pesan di media sosial, tetapi juga melibatkan keterampilan berpikir kritis terhadap sumber informasi. Masyarakat yang memiliki tingkat literasi media yang baik akan cenderung lebih skeptis terhadap informasi yang terlalu sensasional, emosional, atau tidak masuk akal. Mereka tidak akan mudah percaya begitu saja, melainkan akan memverifikasi terlebih dahulu dengan mencari sumber lain yang kredibel. Dalam praktiknya, literasi media mengajarkan masyarakat untuk menanyakan beberapa hal sebelum mempercayai sebuah informasi: siapa yang membuatnya, apa tujuan dari penyebarannya, apakah informasi tersebut memiliki bukti pendukung, dan bagaimana dampaknya terhadap publik.

Pendidikan literasi media sejatinya harus dimulai sejak dini. Generasi muda yang tumbuh di tengah dunia digital perlu dibekali kemampuan untuk mengelola informasi dengan bijak. Sekolah dapat menjadi garda terdepan dalam upaya ini, dengan memasukkan literasi media ke dalam kurikulum pembelajaran. Melalui kegiatan diskusi, simulasi, dan studi kasus, siswa dapat belajar bagaimana membedakan berita asli dan palsu, mengenali bias media, serta memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja dalam membentuk persepsi publik. Ketika kesadaran ini sudah terbentuk sejak usia muda, maka generasi berikutnya akan menjadi pengguna media yang lebih cerdas dan bertanggung jawab.

Selain lembaga pendidikan, pemerintah juga memiliki peran penting dalam memperkuat literasi media masyarakat. Kebijakan publik yang mendukung transparansi informasi, penegakan hukum terhadap penyebar hoaks, serta kampanye nasional tentang bahaya disinformasi dapat menjadi langkah strategis. Badan-badan seperti Kominfo dan Dewan Pers di Indonesia telah berupaya mengedukasi masyarakat melalui berbagai program, seperti gerakan Cek Fakta, Siber Kreasi, dan pelatihan jurnalisme warga. Namun, tantangan terbesar tetap terletak pada bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi dan membagikan informasi.

Tidak dapat dipungkiri, algoritma media sosial turut memperparah penyebaran disinformasi. Platform seperti Facebook, X (Twitter), dan TikTok menggunakan algoritma yang memprioritaskan konten yang paling banyak mendapat interaksi, bukan konten yang paling akurat. Akibatnya, berita palsu yang memancing emosi — terutama yang berbau politik, agama, atau isu sosial lebih cepat viral dibandingkan informasi faktual yang bersifat netral. Di sinilah literasi media berperan penting dalam membangun kesadaran bahwa tidak semua yang viral adalah benar. Masyarakat perlu memahami bahwa media sosial adalah ruang terbuka yang diatur oleh kepentingan algoritmik, bukan kebenaran objektif.

Salah satu aspek penting dari literasi media adalah kemampuan untuk mengenali bias, baik bias yang terdapat dalam media maupun bias pribadi. Setiap media memiliki sudut pandang dan kepentingan tertentu yang memengaruhi cara mereka menyajikan informasi. Sementara itu, pembaca juga membawa bias masing-masing berdasarkan latar belakang, pengalaman, dan nilai-nilai yang dianut. Literasi media membantu individu memahami bahwa tidak ada informasi yang sepenuhnya netral. Dengan demikian, seseorang dapat menilai berita secara lebih objektif tanpa langsung menolak atau mempercayainya mentah-mentah.

Selain itu, literasi media juga menekankan pentingnya etika digital. Di era di mana siapa pun bisa menjadi “pembuat berita” melalui media sosial, tanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang benar menjadi tanggung jawab bersama. Tidak cukup hanya tidak ikut menyebarkan hoaks; setiap individu perlu aktif menjadi bagian dari solusi, misalnya dengan meluruskan informasi yang salah, melaporkan konten berbahaya, atau memberikan edukasi kepada lingkungan sekitar. Budaya verifikasi sebelum berbagi harus menjadi kebiasaan baru yang melekat dalam perilaku digital masyarakat.

Organisasi masyarakat sipil dan media independen juga memiliki peran strategis dalam meningkatkan literasi media. Mereka dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan informasi yang kredibel dengan menyediakan ruang diskusi, pelatihan, serta platform edukasi publik. Kolaborasi antara jurnalis, akademisi, dan komunitas lokal dapat memperluas jangkauan program literasi media hingga ke daerah-daerah terpencil. Pendekatan berbasis komunitas ini terbukti efektif karena melibatkan partisipasi langsung masyarakat dalam proses belajar.

Di sisi lain, jurnalisme profesional juga harus terus beradaptasi dalam menjaga kepercayaan publik. Ketika berita palsu beredar di mana-mana, media arus utama memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan fungsi pers sebagai sumber informasi yang akurat dan terpercaya. Transparansi dalam proses peliputan, keterbukaan terhadap kritik, dan konsistensi dalam menyajikan fakta menjadi kunci utama untuk memperkuat kembali kepercayaan masyarakat. Literasi media dan jurnalisme yang bertanggung jawab sejatinya saling melengkapi: yang satu memperkuat kemampuan masyarakat dalam menerima informasi, sementara yang lain memastikan informasi yang diterima memang layak dipercaya.

Pada akhirnya, literasi media bukan hanya soal kemampuan intelektual, tetapi juga kesadaran moral. Di tengah derasnya arus disinformasi yang dapat memecah belah masyarakat, merusak demokrasi, dan menurunkan kualitas kehidupan sosial, kemampuan untuk berpikir kritis dan beretika dalam bermedia menjadi tameng utama. Literasi media mengajarkan bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk tidak menyesatkan orang lain.

Dengan memperkuat literasi media di semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, kita sedang menanam benih peradaban informasi yang lebih sehat. Dunia digital yang ideal bukanlah dunia tanpa perbedaan pendapat, tetapi dunia di mana setiap orang mampu berargumen dengan data dan berpikir dengan nalar. Literasi media adalah kunci menuju masa depan tersebut, sebuah masa depan di mana masyarakat tidak lagi menjadi korban informasi, melainkan menjadi pengendali utama dari apa yang mereka baca, dengar, dan bagikan.