Anak-anak masa kini tumbuh dalam dunia yang hampir seluruhnya tersambung oleh layar. Belajar, bermain, bersosialisasi semuanya terjadi di ruang digital. Namun di balik kemudahan itu, tersimpan bahaya yang kerap tak terlihat, perundungan siber, paparan konten dewasa, penipuan daring, hingga pencurian data pribadi. Dunia maya memang seru, tapi tidak selalu ramah bagi anak-anak.
Banyak anak hari ini lebih cepat mempelajari fitur ponsel dibanding memahami etika menggunakannya. Mereka tahu cara merekam video dan mengunggahnya ke media sosial, tapi belum tentu tahu kapan harus berhenti. Mereka bisa tersenyum di balik filter kamera, tanpa sadar sedang membuka diri pada dunia yang belum tentu aman.
Fenomena ini kian nyata. Di sekolah-sekolah dasar, kita bisa dengan mudah menemukan anak-anak yang memiliki akun media sosial pribadi. Mereka mengikuti tren, meniru gaya orang dewasa, bahkan kadang menjadi korban ejekan dan perundungan digital. Di sisi lain, sebagian orang tua masih beranggapan pengawasan cukup dilakukan dengan “mengambil HP saat malam hari” atau “membatasi kuota”. Padahal, yang dibutuhkan jauh lebih dalam, pendampingan dan literasi.
Melek risiko digital bukan sekadar tahu cara menggunakan gawai, tapi memahami konsekuensi di balik setiap klik. Anak perlu tahu bahwa jejak digital tak bisa dihapus begitu saja. Bahwa membagikan foto pribadi atau menerima pesan dari orang tak dikenal bisa berujung bahaya. Dan bahwa dunia maya, sebagaimana dunia nyata, punya batas sopan santun yang harus dijaga.
Inilah pekerjaan rumah besar kita bersama. Literasi digital bukan hanya urusan teknis, tapi juga pendidikan karakter. Guru dan orang tua perlu menanamkan nilai tanggung jawab, empati, dan kehati-hatian sejak dini. Karena di era informasi tanpa batas, kebijaksanaan menjadi pelindung paling utama.
Langkah serius kini datang dari pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) tengah mempercepat lahirnya aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak, yang dikenal sebagai PP Tunas. Regulasi ini mengatur berbagai hal penting: dari batasan usia anak pengguna layanan digital, sistem pengawasan tata kelola, hingga penilaian profil risiko produk digital.
Kemkomdigi baru-baru ini menggelar Uji Petik terhadap rancangan awal peraturan teknis tersebut. Tujuannya, menghimpun masukan dari platform digital, lembaga pelindungan anak, serta pemerhati teknologi agar aturan yang lahir tidak hanya kuat di atas kertas, tapi juga relevan di lapangan.
Ketua Tim Hukum dan Kerja Sama Kemkomdigi, Josua Sitompul, menegaskan pentingnya kesadaran publik dalam melindungi anak di ruang digital. “Pengetahuan yang minim dalam memahami risiko penggunaan produk dan layanan digital mengancam keselamatan dan kesehatan anak,” ujarnya.
Pernyataan itu menjadi pengingat, bahwa pelindungan anak bukan hanya soal regulasi, melainkan kesadaran kolektif. Pemerintah bisa menyiapkan payung hukum, tapi orang tualah yang memegang tangan anak saat menelusuri dunia maya. Sekolah bisa menanamkan etika digital, namun lingkunganlah yang memberi teladan.
Di era serba digital ini, menciptakan ruang aman bagi anak bukan berarti menjauhkan mereka dari teknologi, melainkan mengajarkan cara berteman dengannya dengan bijak. Karena pada akhirnya, perlindungan terbaik bukan berasal dari aplikasi pengaman atau regulasi semata, melainkan dari kedewasaan kita dalam memahami dunia yang kini mereka tinggali dunia tanpa batas bernama internet.