• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Menuju Anggaran yang Menghasilkan Dampak (Money Follows Impact by Evidence-Based Policy)

22 Oktober 2025

95 kali dibaca

Menuju Anggaran yang Menghasilkan Dampak (Money Follows Impact by Evidence-Based Policy)

Oleh: Suryatmono, S.Si*

Sudah saatnya cara kita memandang anggaran daerah berubah. Selama ini, anggaran kerap dianggap sekadar daftar angka dan pos belanja, bukan instrumen perubahan sosial. Padahal, setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah daerah semestinya membawa nilai: menumbuhkan ekonomi rakyat, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki pelayanan publik. Inilah semangat baru yang terkandung dalam Permendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026.

Regulasi ini memperkenalkan paradigma “money follows impact”, sebuah pergeseran dari pendekatan lama: money follows function (anggaran mengikuti fungsi birokrasi) dan money follows program (anggaran mengikuti daftar kegiatan). Kini, pemerintah daerah dituntut untuk memastikan bahwa anggaran benar-benar menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat. Bukan lagi seberapa banyak proyek dilaksanakan, tapi seberapa besar manfaat yang dirasakan rakyat dari setiap program yang dibiayai.

Perubahan ini sangat penting. Selama ini, perencanaan dan penganggaran sering berjalan di dua jalur yang berbeda. Dokumen RPJMD dan RKPD tidak selalu berujung pada kebijakan anggaran yang berdampak. Hasilnya, belanja publik masih didominasi oleh rutinitas, sementara belanja yang benar-benar produktif belum maksimal. Paradigma baru ini mendorong TAPD dan DPRD untuk duduk bersama menyamakan persepsi: bahwa APBD bukan sekadar alat administratif, melainkan alat strategis untuk menciptakan perubahan.

Prinsip money follows impact menuntut keberanian untuk berubah. Pemerintah daerah harus berani mengukur keberhasilan bukan dari serapan anggaran, tetapi dari hasil yang dirasakan masyarakat penurunan angka kemiskinan, peningkatan pendapatan, atau akses layanan yang lebih baik.

Sistem aplikasi SIPD-RI kini menjadi alat penting untuk menautkan perencanaan, penganggaran, hingga evaluasi secara digital dan transparan. Setiap rupiah bisa ditelusuri, setiap kegiatan bisa diukur dampaknya.

Dalam konteks nasional, paradigma ini juga sejalan dengan arah besar RPJMN 2025–2029 dan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan kedaulatan pangan, energi, dan ekonomi produktif yang inklusif. Artinya, APBD 2026 diharapkan tidak hanya menggerakkan roda pemerintahan, tetapi menjadi mesin pertumbuhan daerah. Setiap program, sekecil apa pun, harus bisa dikaitkan dengan hasil yang memberi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Perubahan ini tentu tidak mudah. Diperlukan kemauan politik yang kuat dari eksekutif dan legislatif. TAPD perlu memperkuat analisis dampak dalam penyusunan KUA–PPAS, sementara Banggar DPRD perlu menggeser fokus pembahasan dari besar kecilnya anggaran ke efektif tidaknya manfaat bagi rakyat. Kolaborasi keduanya akan melahirkan anggaran yang lebih bijak, terukur, dan berdaya guna.

Pada akhirnya, money follows impact bukan hanya jargon teknokratis, tetapi sebuah ajakan moral: agar pemerintah bekerja lebih cerdas, bukan hanya lebih sibuk. APBD bukan lagi sekadar daftar kegiatan tahunan, melainkan cermin tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa uang rakyat benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan daerah.

Namun, bagaimana memastikan agar setiap kebijakan dan program benar-benar berdampak? Di sinilah riset dan inovasi memainkan peran yang sangat penting. Dalam Permendagri 14 Tahun 2025, khususnya Bagian 34 tentang Unsur Penunjang – Riset dan Inovasi, pemerintah daerah diwajibkan menyediakan alokasi anggaran bagi perangkat daerah yang menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan (Litbang/Riset dan Inovasi.

Tujuannya jelas: meningkatkan kualitas kebijakan publik dan memastikan hasil pembangunan berbasis bukti, bukan asumsi. Riset dan inovasi adalah penjaga manajemen pembangunan. Mereka berfungsi seperti “kompas” yang memastikan arah kebijakan daerah tetap konsisten dengan tujuan jangka panjang. Tanpa data, analisis, dan pembelajaran kebijakan yang memadai, perencanaan hanya menjadi daftar keinginan - bukan strategi yang terukur. Karena itu, Permendagri 14 Tahun 2025 tidak hanya menempatkan riset sebagai pelengkap, tetapi sebagai bagian integral dari perencanaan berbasis bukti (Evidence-Based Policy).

Bayangkan jika setiap program prioritas daerah dari pengentasan kemiskinan, pemberdayaan nelayan, hingga peningkatan wisata — diawali dengan riset yang kuat. Kita akan tahu apa akar masalahnya, siapa kelompok yang paling terdampak, dan intervensi apa yang paling efektif.

Riset memberikan pijakan logis dan data yang bisa dipertanggungjawabkan, sehingga setiap rupiah anggaran yang dibelanjakan memiliki arah yang jelas dan peluang keberhasilan yang lebih tinggi.

Peran Riset dan Inovasi Daerah menjadi sangat strategis dalam paradigma baru ini, bukan lagi unit administratif, tetapi menjadi “think tank” daerah yang menjembatani kebijakan dan ilmu pengetahuan. Permendagri 14 Tahun 2025 secara tegas meminta daerah untuk:

Menyusun Rencana Induk dan Peta Jalan Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) 2025–2029 sebagai turunan dari RPJMD; Menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy); serta Membangun ekosistem riset dan inovasi yang mendukung produk unggulan dan penyelesaian masalah utama daerah.

Dengan demikian, riset dan inovasi menjadi alat transformasi. Mereka mengubah pendekatan “proyek tahunan” menjadi proses pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis pembelajaran. Pemerintah daerah yang memanfaatkan riset dengan baik akan mampu merancang kebijakan yang adaptif, akurat, dan berdampak luas.

Meski Permendagri 14/2025 tidak menetapkan persentase anggaran tertentu untuk riset dan inovasi, sebaiknya cukup memadai untuk menggerakkan riset terapan, inovasi pelayanan publik, serta kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi,NGO, dunia usaha dan media ( Penta helix Collaboration). Anggaran ini bukan biaya tambahan, melainkan investasi strategis untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan efisien dan tepat sasaran.

Tanpa riset, pemerintah bekerja dalam kegelapan. Tanpa inovasi, pelayanan publik stagnan.  Karena itu, alokasi bagi fungsi riset dan inovasi seharusnya dipandang sebagai modal intelektual daerah, menjadi pondasi yang menjamin keberlanjutan pembangunan dan rasionalitas kebijakan publik.

Konsep Evidence-Based Policy mengajarkan bahwa kebijakan publik yang baik lahir dari bukti dan pembelajaran, bukan intuisi atau tekanan politik. Ia menuntut keterpaduan antara data, analisis, dan evaluasi. Dalam praktiknya, pengampu urusan riset dan inovasi dan perangkat daerah lainnya harus bekerja sama dalam menganalisis dampak kebijakan, melakukan uji coba inovasi, dan menyusun rekomendasi berbasis hasil riset.

Dengan pendekatan ini, perencanaan daerah tidak lagi disusun sekadar untuk memenuhi kewajiban dokumen RPJMD atau RKPD, tetapi untuk memastikan setiap program memberi impact yang dapat diukur. Masyarakat pun berhak menagih hasilnya, lebih baik lagi bukan hanya laporan kegiatan, tetapi bukti perubahan nyata di kehidupan mereka.

Kebijakan money follows impact bukan hanya slogan teknokratis, melainkan panggilan moral bagi pemerintah daerah untuk lebih bijak mengelola sumber daya publik. Ia mengajak kita keluar dari zona nyaman administrasi menuju praktik pembangunan yang cerdas dan berbasis bukti.

Riset dan inovasi hadir sebagai penjaga arah, memastikan bahwa setiap keputusan anggaran berakar pada pengetahuan, bukan asumsi. Dengan memperkuat BRIDA, mengalokasikan anggaran secara proporsional, dan menjadikan Evidence-Based Policy sebagai budaya kerja, Kabupaten Pesisir Selatan dapat menjadi contoh bagaimana daerah mampu tumbuh melalui kebijakan yang ilmiah, rasional, dan berdampak langsung bagi rakyatnya. Karena pada akhirnya, keberhasilan pembangunan tidak diukur dari seberapa banyak yang dibelanjakan, tetapi seberapa dalam perubahan yang kita ciptakan untuk generasi yang akan datang.