• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Narasi Sosial di Dunia Virtual: Bagaimana Jurnalis Merekonstruksi Realitas di Era Metaverse

24 Oktober 2025

26 kali dibaca

Narasi Sosial di Dunia Virtual: Bagaimana Jurnalis Merekonstruksi Realitas di Era Metaverse

Perkembangan teknologi digital telah mengantarkan manusia ke babak baru dalam sejarah komunikasi: era metaverse. Dunia virtual yang interaktif, imersif, dan tak terbatas ini menghadirkan ruang baru bagi manusia untuk berinteraksi, berkreasi, dan berekspresi. Namun, di balik pesona teknologi yang menakjubkan, muncul tantangan besar bagi para jurnalis bagaimana mereka dapat membangun, memahami, dan merekonstruksi realitas sosial di tengah dunia yang tidak sepenuhnya nyata. Jurnalisme di era metaverse bukan sekadar tentang menyampaikan berita, tetapi juga tentang membingkai ulang makna “realitas” itu sendiri.

Dalam konteks tradisional, jurnalis berperan sebagai penjaga kebenaran (gatekeeper of truth), yang bertugas menghadirkan fakta dan informasi kepada publik. Namun, di metaverse, batas antara fakta dan fiksi semakin kabur. Dunia virtual memungkinkan siapa pun menciptakan identitas baru, merekayasa peristiwa, bahkan membangun ruang sosial yang tidak terikat oleh hukum fisika atau norma dunia nyata. Di sinilah jurnalis menghadapi dilema: bagaimana melaporkan “kebenaran” ketika realitas itu sendiri bersifat digital, fleksibel, dan bisa dimanipulasi?

Narasi sosial di dunia virtual terbentuk bukan hanya dari fakta-fakta objektif, melainkan juga dari pengalaman subjektif para pengguna. Misalnya, ketika seseorang mengikuti rapat, konser, atau demonstrasi di metaverse, pengalaman tersebut bisa sama intensnya dengan di dunia nyata. Jurnalis harus mampu menangkap dimensi emosional dan sosial dari pengalaman virtual ini tanpa kehilangan keakuratan dan integritas informasi. Dengan kata lain, jurnalis masa kini dituntut untuk menjadi penerjemah antara realitas digital dan persepsi manusia terhadap dunia nyata.

Salah satu bentuk rekonstruksi realitas yang menonjol di metaverse adalah munculnya ruang sosial virtual yang menyerupai dunia fisik. Di sini, interaksi manusia tidak lagi dibatasi oleh geografi atau fisik, melainkan diwakili oleh avatar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi jurnalisme: apakah identitas narasumber di metaverse dapat dianggap sah? Bagaimana cara memverifikasi sumber berita yang mungkin hanya eksis secara digital? Tantangan etika dan metodologis ini memaksa jurnalis untuk mengembangkan standar baru dalam proses peliputan. Verifikasi digital, audit identitas virtual, dan pelacakan jejak blockchain menjadi bagian dari perangkat kerja baru seorang jurnalis di dunia metaverse.

Selain itu, metaverse membuka peluang besar bagi jurnalisme untuk menghadirkan pengalaman berita yang lebih mendalam dan partisipatif. Dengan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), berita tidak lagi disajikan dalam bentuk teks atau video semata, melainkan dalam bentuk pengalaman imersif yang dapat dialami langsung oleh audiens. Misalnya, laporan tentang krisis lingkungan dapat dihadirkan dalam bentuk simulasi tiga dimensi, di mana pembaca dapat “berjalan” di hutan yang terbakar atau menyaksikan langsung pencairan es di kutub. Narasi sosial seperti ini memiliki kekuatan emosional yang luar biasa karena tidak hanya menginformasikan, tetapi juga membangkitkan empati dan kesadaran publik.

Namun, kekuatan narasi imersif juga membawa risiko. Dalam dunia di mana batas antara pengalaman nyata dan buatan semakin tipis, jurnalis harus menjaga keseimbangan antara kreativitas dan etika. Manipulasi visual atau penyajian yang terlalu dramatik dapat mengaburkan kebenaran dan menimbulkan misinformasi. Oleh karena itu, prinsip dasar jurnalisme keakuratan, keadilan, dan tanggung jawab—harus tetap menjadi fondasi, bahkan ketika medium dan bentuk penyajiannya berubah total.

Di sisi lain, jurnalisme metaverse juga berpotensi memperkuat dimensi sosial dari berita. Dunia virtual memungkinkan terjadinya interaksi dua arah antara jurnalis dan audiens dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pembaca tidak hanya menjadi penerima pasif, tetapi juga peserta aktif dalam proses produksi berita. Mereka dapat berdiskusi langsung, mengajukan pertanyaan, bahkan ikut berkontribusi dalam peliputan melalui avatar mereka. Kolaborasi semacam ini menciptakan bentuk baru jurnalisme partisipatif yang berbasis komunitas digital. Dalam konteks sosial, hal ini berpotensi membangun rasa kebersamaan dan solidaritas baru di ruang maya.

Lebih jauh lagi, metaverse memungkinkan jurnalis untuk mengeksplorasi isu-isu sosial dari perspektif yang lebih beragam. Dunia virtual menyediakan ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan untuk bersuara tanpa batasan fisik atau sosial. Aktivis, minoritas, dan masyarakat adat, misalnya, dapat menggunakan metaverse untuk mengekspresikan identitas dan memperjuangkan hak mereka di ruang publik digital. Jurnalis memiliki tanggung jawab moral untuk menjembatani suara-suara ini agar tidak tenggelam dalam hiruk pikuk algoritma dan sensasi digital.

Dari perspektif epistemologis, jurnalisme di era metaverse menuntut redefinisi terhadap konsep “realitas”. Realitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang tunggal dan objektif, melainkan sebagai konstruksi sosial yang terbentuk melalui interaksi antara manusia, teknologi, dan narasi digital. Dalam situasi ini, tugas jurnalis bukan hanya menyajikan fakta, tetapi juga mengungkap konteks, relasi, dan makna di balik fakta tersebut. Narasi sosial menjadi alat untuk memahami bagaimana masyarakat digital membentuk pandangan mereka terhadap dunia.

Untuk mampu menjalankan peran tersebut, jurnalis perlu membekali diri dengan kompetensi baru. Literasi digital, pemahaman tentang arsitektur metaverse, serta kemampuan memverifikasi data digital menjadi syarat mutlak. Selain itu, jurnalis juga perlu memiliki kepekaan etis dalam menghadapi isu-isu seperti privasi, kepemilikan data, dan representasi virtual. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma dan kecerdasan buatan, suara manusia—dalam hal ini nurani jurnalis—tetap menjadi kompas moral yang menjaga arah kebenaran.

Ke depan, jurnalisme metaverse akan menjadi medan pertarungan antara otentisitas dan ilusi. Di satu sisi, ia menawarkan potensi luar biasa untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan empati manusia. Di sisi lain, ia juga membuka pintu bagi manipulasi informasi yang lebih canggih dan sulit dideteksi. Tantangan terbesar bagi jurnalis adalah memastikan bahwa narasi sosial yang dibangun di dunia virtual tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran.

Akhirnya, rekonstruksi realitas di era metaverse bukanlah tentang menggantikan dunia nyata, melainkan tentang memperkaya pemahaman kita terhadapnya. Dunia virtual hanyalah cermin lain dari kehidupan manusia dengan segala kompleksitas, konflik, dan keindahannya. Tugas jurnalis adalah menjaga agar cermin itu tetap jernih, agar masyarakat dapat melihat dirinya sendiri dengan jujur, baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Dalam era di mana batas antara keduanya semakin kabur, jurnalisme yang berintegritas menjadi penuntun bagi publik untuk tetap berpijak pada kenyataan, meskipun berada di tengah dunia yang serba maya.