• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Psikologi Informasi: Bagaimana Otak Kita Menyaring dan Memercayai Fakta

30 Oktober 2025

54 kali dibaca

Psikologi Informasi: Bagaimana Otak Kita Menyaring dan Memercayai Fakta

Dalam era digital yang ditandai oleh banjir data dan arus informasi tanpa henti, memahami bagaimana otak manusia memproses dan mempercayai informasi menjadi sangat penting. Setiap hari, kita dihadapkan pada ribuan potongan informasi—mulai dari berita, opini, hingga konten media sosial yang bersaing untuk mendapatkan perhatian kita. Namun, tidak semua informasi diproses dengan cara yang sama oleh otak. Psikologi informasi berusaha menjelaskan bagaimana manusia memilih, menyaring, dan menilai kebenaran dari apa yang mereka terima. Dalam konteks ini, faktor kognitif, emosional, dan sosial memainkan peran besar dalam membentuk kepercayaan terhadap fakta.

Otak manusia pada dasarnya bukanlah mesin rasional sempurna yang selalu memproses informasi berdasarkan logika. Sebaliknya, ia bekerja dengan cara yang selektif dan efisien, menggunakan jalan pintas mental atau heuristics untuk menghemat energi berpikir. Mekanisme ini membantu kita mengambil keputusan cepat, tetapi di sisi lain juga membuka peluang terjadinya bias kognitif. Misalnya, confirmation bias membuat seseorang cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan atau pandangan yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, ketika seseorang sudah memiliki pandangan politik tertentu, ia lebih mudah menerima berita yang mendukung kelompoknya dan menolak berita yang bertentangan, meskipun faktanya salah.

Selain bias kognitif, emosi juga berperan besar dalam menentukan bagaimana seseorang menilai kebenaran suatu informasi. Informasi yang memicu emosi kuat—seperti marah, takut, atau bangga lebih mudah diingat dan dipercaya dibandingkan informasi yang netral. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa emosi dapat memperkuat memory encoding, yakni proses penyimpanan informasi dalam otak. Inilah sebabnya mengapa berita sensasional atau provokatif sering kali viral dan lebih dipercaya ketimbang berita yang disampaikan dengan data dingin. Otak kita bereaksi lebih cepat terhadap stimulus emosional karena hal itu berkaitan dengan sistem bertahan hidup manusia sejak zaman purba.

Dalam konteks sosial, kepercayaan terhadap informasi juga dipengaruhi oleh siapa yang menyampaikannya. Fenomena ini dikenal sebagai source credibility effect. Ketika seseorang menganggap sumber informasi memiliki otoritas, reputasi, atau kedekatan emosional, ia lebih cenderung mempercayai isi pesannya tanpa melakukan verifikasi mendalam. Di era media sosial, efek ini semakin kuat karena informasi sering kali disebarkan oleh orang-orang yang kita kenal secara pribadi. Akibatnya, kita lebih percaya pada berita yang dibagikan teman atau keluarga dibandingkan sumber resmi, meskipun berita tersebut tidak akurat.

Selain itu, algoritma media digital juga berperan dalam membentuk cara otak kita menyaring informasi. Platform seperti Facebook, Instagram, atau X (Twitter) menggunakan sistem yang memprioritaskan konten yang sesuai dengan minat pengguna. Hal ini menciptakan filter bubble, yaitu gelembung informasi di mana seseorang hanya terekspos pada pandangan yang sejalan dengan keyakinannya. Dalam jangka panjang, situasi ini memperkuat echo chamber effect, di mana orang hanya mendengar gema dari pendapat yang sama dan kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan perspektif lain. Otak pun semakin terprogram untuk menolak fakta yang bertentangan, bahkan ketika bukti kuat disajikan.

Proses penyaringan informasi oleh otak juga sangat dipengaruhi oleh kapasitas kognitif dan tingkat literasi seseorang. Mereka yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi cenderung lebih mampu mengenali manipulasi informasi dan menilai kredibilitas sumber. Sebaliknya, individu dengan literasi digital rendah lebih mudah terjebak dalam misinformasi atau teori konspirasi. Hal ini bukan semata-mata masalah kecerdasan, melainkan hasil dari kurangnya latihan berpikir reflektif. Psikolog Daniel Kahneman membagi cara berpikir manusia menjadi dua sistem: System 1 (cepat, intuitif, dan emosional) dan System 2 (lambat, analitis, dan rasional). Dalam konteks informasi, banyak orang menggunakan System 1, yang bekerja otomatis dan tanpa verifikasi mendalam, sehingga membuat mereka mudah mempercayai informasi yang sebenarnya salah.

Sementara itu, fenomena illusory truth effect menunjukkan bahwa semakin sering seseorang mendengar suatu pernyataan, semakin besar kemungkinan ia akan mempercayainya. Repetisi menciptakan rasa familiar di otak, dan otak cenderung mengasosiasikan familiaritas dengan kebenaran. Itulah sebabnya propaganda dan disinformasi sering menggunakan strategi pengulangan pesan. Dalam konteks politik, misalnya, slogan atau klaim yang diulang-ulang akan lebih cepat tertanam di benak masyarakat dibandingkan data faktual yang disajikan sekali. Ini menunjukkan bahwa dalam dunia komunikasi publik, persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas.

Namun, psikologi informasi tidak hanya bicara tentang kelemahan otak manusia, tetapi juga potensi untuk memperkuat mekanisme penyaringan yang sehat. Salah satu kuncinya adalah kesadaran metakognitif, yaitu kemampuan untuk menyadari proses berpikir sendiri. Dengan melatih kesadaran ini, seseorang dapat berhenti sejenak sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi, lalu mempertanyakan: apakah sumbernya kredibel? Apakah ada bukti lain yang mendukung? Apakah saya sedang dipengaruhi oleh emosi? Langkah sederhana ini dapat mengaktifkan System 2 yang lebih rasional dan mengurangi risiko terperangkap dalam bias.

Selain itu, pendidikan literasi digital dan media harus menjadi prioritas di tengah masyarakat modern. Literasi ini bukan hanya soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga memahami ekosistem informasi secara kritis—bagaimana berita dibuat, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana algoritma bekerja. Pemerintah, akademisi, dan media massa perlu bekerja sama membangun kesadaran publik agar setiap individu memiliki mental firewall terhadap hoaks dan disinformasi. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen pasif informasi, tetapi juga peserta aktif yang mampu menilai dan memverifikasi kebenaran.

Dalam konteks komunikasi pemerintahan dan demokrasi, pemahaman tentang psikologi informasi memiliki nilai strategis. Pemerintah perlu memahami cara publik mempersepsikan dan mempercayai informasi agar komunikasi kebijakan menjadi lebih efektif. Pesan yang faktual sekalipun bisa gagal diterima jika disampaikan tanpa memperhatikan aspek emosional dan sosial penerimanya. Oleh karena itu, strategi komunikasi publik harus menggabungkan pendekatan rasional dengan empati psikologis, yaitu dengan memahami bagaimana warga berpikir, merasa, dan berinteraksi dalam ruang digital.

Pada akhirnya, memahami psikologi informasi berarti memahami manusia itu sendiri dengan segala keterbatasan dan kekuatan berpikirnya. Otak kita tidak dirancang untuk menyerap seluruh kebenaran secara objektif, melainkan untuk bertahan dan menavigasi kompleksitas sosial. Di era di mana informasi menjadi senjata paling kuat, kemampuan untuk berpikir kritis, reflektif, dan sadar akan bias menjadi benteng pertahanan terakhir terhadap manipulasi. Dunia mungkin terus berubah dengan teknologi baru, tetapi tantangan terbesar tetap sama: bagaimana memastikan bahwa di tengah derasnya arus informasi, kita masih mampu membedakan antara fakta dan ilusi.

Dengan memahami bagaimana otak bekerja dalam memproses informasi, kita tidak hanya menjadi konsumen yang lebih bijak, tetapi juga pembangun ekosistem informasi yang sehat. Psikologi informasi mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu datang dari luar, melainkan dari kemampuan internal kita untuk memeriksa ulang, menimbang, dan berani meragukan apa yang tampak pasti. Di sinilah letak kecerdasan sejati manusia bukan pada seberapa banyak informasi yang ia miliki, tetapi pada seberapa dalam ia mampu memahami dan mempercayainya dengan sadar.