• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Tutur Bertakar: Adab Kata dalam Masyarakat Minang

13 September 2025

25 kali dibaca

Tutur Bertakar: Adab Kata dalam Masyarakat Minang

Bagian 2 – Kato Manurun, Bahasa Kasih yang Menuntun Generasi

Seri sebelumnya telah membahas Kato Mandaki, bahasa hormat yang digunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukan. Kini, kita beralih ke bentuk kedua dalam Kato Nan Ampek, yaitu Kato Manurun. Jika yang pertama menekankan penghormatan, maka yang kedua menekankan kasih sayang: bahasa yang mengalir dari orang tua kepada anak, dari guru kepada murid, atau dari niniak mamak kepada kemenakan.

Kato Manurun berarti kata menurun, yakni bahasa yang digunakan oleh pihak yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukan ketika menyampaikan pesan kepada yang lebih muda. Dalam praktiknya, bahasa ini mengandung kelembutan, kehangatan, dan arahan. Nilai dasarnya adalah kasih sayang, sejalan dengan prinsip komunikasi pengasuhan (parenting communication) dalam psikologi yang menekankan pentingnya penggunaan bahasa penuh perhatian untuk membentuk karakter anak.

Dalam keseharian orang Minang, Kato Manurun terwujud saat orang tua menasihati anaknya agar rajin belajar, atau ketika seorang guru menegur muridnya dengan nada lembut. Niniak mamak yang menuntun kemenakan pun menggunakan bahasa penuh kebijaksanaan, bukan kata-kata kasar. Pepatah Minangkabau menegaskan hal ini: “kato surang dibao naiak, kato bana dibao turun,” yang berarti kata bijak disampaikan ke atas dengan hormat, sementara kebenaran disampaikan ke bawah dengan penuh kasih.

Jika ditelaah dari perspektif akademik, Kato Manurun sejalan dengan konsep nurturant communication dalam pendidikan, yaitu pola komunikasi yang menumbuhkan rasa percaya diri, keterbukaan, dan kedekatan emosional. Bahasa yang lembut terbukti lebih efektif dalam mendidik anak, karena menciptakan rasa aman. Sebaliknya, bahasa yang keras dan penuh emosi justru dapat melahirkan trauma atau perlawanan. Dengan kata lain, Kato Manurun adalah metode pendidikan berbasis budaya yang relevan sepanjang masa.

Namun, tantangan zaman modern kerap membuat nilai ini terabaikan. Tekanan hidup, rutinitas yang padat, serta pola komunikasi singkat di media digital membuat sebagian orang tua atau guru cenderung menggunakan bahasa keras kepada anak. Anak-anak pun lebih akrab dengan percakapan daring yang lugas dan terkadang kasar. Jika dibiarkan, maka generasi muda bisa kehilangan teladan dalam bertutur penuh kasih.

Di sinilah pentingnya melestarikan Kato Manurun. Bahasa ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan sarana membentuk karakter generasi muda Minang agar tetap santun dan berkepribadian kuat. Dengan tutur yang turun lembut, seorang anak tidak hanya menerima nasihat, tetapi juga merasakan kehangatan kasih sayang dari orang yang menuntunnya.

Seri kedua ini menegaskan bahwa Kato Manurun adalah wajah cinta dalam budaya tutur Minangkabau. Ia mengingatkan bahwa mendidik bukan sekadar menyuruh, melainkan menuntun dengan hati. Sebab dari kata yang penuh kelembutan, lahirlah generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga beradab.