• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

21 September 2025

72 kali dibaca

Tutur Bertakar: Adab Kata dalam Masyarakat Minang 3

Bagian 3 – Kato Melereng

Di Minangkabau, kata bukan sekadar bunyi ia adalah seni menimbang rasa. Tidak semua kata harus diucapkan lurus-lurus. Di Minangkabau, ada seni berbicara yang halus, nyaris seperti meniti di tepian tebing. Seni itu disebut Kato Melereng. Ia hadir dalam nasihat seorang mamak kepada kemenakan, dalam teguran lembut tetua nagari kepada pemuda, atau dalam percakapan sehari-hari yang menjaga perasaan lawan bicara. Setelah mengenal Kato Mandaki yang mengalir ke atas dan Kato Manurun yang turun penuh hormat, kini kita memasuki ranah yang lebih halus "Kato Melereng". kini saatnya menelusuri bagaimana masyarakat Minang mempraktikkan kebijaksanaan berbahasa melalui kata-kata yang “miring” tapi penuh makna ini.

Inilah bahasa yang tidak menabrak, tetapi mengelus tidak menegur keras, tetapi menyentuh hati. Kato Melereng adalah cara orang Minang meramu pesan dalam kiasan, sindiran lembut, dan perumpamaan yang sarat makna, agar nasihat tetap sampai tanpa melukai marwah.

Dalam khazanah budaya Minangkabau, Kato Melereng digambarkan sebagai bahasa nan pueh baisi kieh jo banding, baisi petunjuak jo pangaja, biasonyo dipakai arif bijaksono, adolo tampek malatakkannyo (Yeni & Netri, 2021). Artinya, Kato Melereng adalah kata-kata kiasan yang digunakan dengan penuh kebijaksanaan, biasanya oleh orang yang dituakan atau dianggap arif, untuk menyampaikan maksud secara halus. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa ini kerap muncul dalam lingkup keluarga maupun pergaulan dekat, agar nasihat atau teguran tidak melukai perasaan.

Dalam teori tindak tutur, Kato Melereng memiliki kedekatan dengan konsep indirect speech acts atau tindak tutur tak langsung (Searle, 1975). Maksud yang ingin disampaikan tidak diutarakan secara lugas, melainkan melalui sindiran, kiasan, atau perumpamaan. Dengan begitu, pesan tetap tersampaikan, namun menjaga marwah lawan bicara. Orang Minang memahami bahwa kata bisa menjadi pedang bermata dua, mampu menegakkan kebenaran, tetapi juga bisa melukai. Karena itu, Kato Melereng hadir sebagai bentuk kebijaksanaan dalam mengolah kata.

Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya erat dengan ajaran adat Minangkabau, raso jo pareso, malu, sopan, dan bijak. Raso menuntut kepekaan terhadap perasaan orang lain, sementara pareso mengajarkan pertimbangan matang sebelum bicara. Dengan memadukan keduanya, Kato Melereng menjadi media komunikasi yang bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga harmoni sosial.

Contoh konkret dapat dilihat dalam keluarga: seorang mamak yang ingin menasihati kemenakannya jarang mengucapkan “jangan lakukan itu!” secara langsung. Sebaliknya, ia akan memakai kiasan, misalnya “janlah sampai nasi jadi bara” untuk mengingatkan agar tidak bertindak gegabah. Dalam konteks sosial, Kato Melereng juga dipakai ketika seorang tetua menyampaikan kritik kepada pemuda nagari yang lalai akan kewajiban. Dengan bahasa melereng, pesan bisa diterima tanpa menimbulkan rasa malu di depan khalayak.

Dengan demikian, Kato Melereng adalah cermin kearifan orang Minang dalam menegur tanpa menyakiti, menasihati tanpa mempermalukan, dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang tetap menjaga marwah. Ia bukan sekadar strategi berbahasa, tetapi bagian dari filosofi hidup yang menempatkan hubungan sosial di atas kepentingan pribadi. Dari sini kita belajar bahwa kata yang halus bisa lebih kuat ketimbang ucapan keras yang melukai.

Kato Melereng mengajarkan kita bahwa kekuatan kata bukan pada kerasnya suara, melainkan pada dalamnya makna. Dengan cara yang halus dan penuh kiasan, orang Minang menjaga hubungan sosial tetap hangat tanpa mengurangi ketegasan pesan yang ingin disampaikan. Di tengah arus komunikasi modern yang serba cepat dan lugas, tradisi ini menjadi pengingat bahwa tutur kata adalah cermin kearifan.