Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Secara sederhana, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus dalam suatu periode tertentu. Meskipun inflasi merupakan bagian alami dari pertumbuhan ekonomi, dampaknya bisa sangat signifikan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang memiliki daya tahan ekonomi terbatas.
Di Indonesia, inflasi sering dipicu oleh berbagai faktor seperti kenaikan harga bahan bakar, gangguan distribusi pangan, fluktuasi harga komoditas global, hingga tekanan dari sisi permintaan dan penawaran. Namun, yang paling terdampak dari fenomena ini bukanlah kelompok atas yang memiliki tabungan besar atau akses investasi, melainkan kelompok masyarakat menengah ke bawah yang hidup dari penghasilan tetap atau harian.
Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok
Dampak paling nyata dari inflasi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Barang-barang seperti beras, minyak goreng, telur, daging ayam, dan sayur-mayur merupakan komponen pengeluaran utama bagi keluarga menengah ke bawah. Ketika inflasi terjadi, harga-harga ini naik, namun pendapatan mereka tidak ikut meningkat. Akibatnya, daya beli mereka menurun drastis.
Sebagai contoh, jika harga beras naik dari Rp10.000 per kilogram menjadi Rp13.000, maka keluarga yang biasanya membeli 10 kilogram beras per minggu harus mengeluarkan tambahan Rp30.000. Dalam skala bulanan, beban ini menjadi cukup besar dan memengaruhi pengeluaran untuk kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Pendapatan Tidak Seimbang dengan Kenaikan Harga
Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat kelas menengah ke bawah saat inflasi meningkat adalah stagnasi pendapatan. Banyak dari mereka bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima, buruh harian, atau ojek online, yang penghasilannya tidak tetap dan sangat bergantung pada kondisi ekonomi sehari-hari. Ketika harga barang naik, penghasilan mereka belum tentu naik, bahkan bisa menurun karena berkurangnya daya beli konsumen.
Bagi pekerja dengan gaji tetap, seperti pegawai swasta atau buruh pabrik, kenaikan gaji biasanya tidak langsung menyesuaikan inflasi. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebutuhan hidup yang meningkat dan pendapatan yang stagnan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mendorong mereka ke dalam jurang kemiskinan.
Pengurangan Kualitas Konsumsi
Ketika harga-harga naik, masyarakat kelas menengah ke bawah kerap terpaksa mengurangi kualitas konsumsi mereka. Misalnya, mereka mungkin mengganti konsumsi daging dengan tempe, atau beralih dari beras premium ke beras kualitas rendah. Dalam jangka pendek, hal ini mungkin terlihat sebagai solusi, namun dalam jangka panjang, pola konsumsi yang menurun kualitasnya bisa berdampak pada kesehatan dan produktivitas.
Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah juga berisiko mengalami malnutrisi jika kebutuhan gizinya tidak terpenuhi akibat pengurangan konsumsi makanan bergizi. Ini menjadi ancaman serius bagi masa depan generasi muda Indonesia.
Pengaruh terhadap Akses Pendidikan dan Kesehatan
Inflasi tidak hanya berdampak pada konsumsi makanan, tetapi juga pada akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Ketika penghasilan yang terbatas harus difokuskan untuk membeli kebutuhan pokok, anggaran untuk pendidikan anak dan biaya kesehatan sering kali dikorbankan.
Biaya sekolah, seragam, buku, dan alat tulis yang terus meningkat menjadi beban tambahan. Banyak orang tua yang akhirnya menarik anak-anak mereka dari sekolah atau memilih pendidikan yang lebih murah namun kualitasnya rendah. Di bidang kesehatan, banyak keluarga menunda atau menghindari berobat karena biaya pengobatan yang dianggap mahal, terutama jika mereka tidak memiliki jaminan kesehatan seperti BPJS.
Meningkatnya Angka Kredit dan Utang
Untuk menyiasati kebutuhan hidup yang semakin mahal, tidak sedikit masyarakat kelas menengah ke bawah yang akhirnya memilih berutang. Mereka menggunakan kartu kredit, pinjaman online, atau bahkan rentenir sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masalahnya, utang yang diambil dengan bunga tinggi dapat menjadi jebakan finansial yang sulit keluar.
Jika kondisi ini terus berlangsung, mereka bisa jatuh dalam lingkaran utang yang berkepanjangan, di mana sebagian besar pendapatan bulanan digunakan hanya untuk membayar cicilan dan bunga, bukan untuk kebutuhan pokok.
Ketimpangan Sosial yang Meningkat
Inflasi juga memperlebar jurang ketimpangan antara masyarakat kaya dan miskin. Kelompok masyarakat atas masih bisa bertahan karena memiliki aset yang nilainya ikut naik saat inflasi, seperti properti atau investasi di pasar modal. Sementara masyarakat bawah justru kehilangan nilai kekayaan mereka yang terbatas, karena semua dana yang mereka miliki digunakan untuk konsumsi harian yang terus naik harganya.
Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada stabilitas sosial. Ketika masyarakat merasa tidak ada keadilan dalam sistem ekonomi, potensi konflik sosial, kriminalitas, dan keresahan publik meningkat.
Inflasi merupakan tantangan serius bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia. Kenaikan harga kebutuhan pokok, stagnasi pendapatan, pengurangan kualitas konsumsi, serta kesulitan akses terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi dampak nyata yang mereka rasakan. Dalam jangka panjang, jika tidak ada intervensi yang tepat dari pemerintah, inflasi bisa memperburuk kondisi kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Pemerintah perlu hadir melalui berbagai kebijakan seperti subsidi pangan, pengendalian harga, peningkatan jaminan sosial, serta pemberdayaan ekonomi mikro. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi keuangan dan memanfaatkan program-program bantuan yang tersedia.
Inflasi memang tidak dapat dihindari sepenuhnya, tetapi dampaknya bisa diminimalkan jika ada sinergi antara kebijakan pemerintah dan kesiapan masyarakat dalam menghadapinya.