Dalam era digital yang serba cepat, informasi menjadi komoditas paling berharga sekaligus paling rentan terhadap distorsi. Perkembangan teknologi komunikasi dan media sosial telah mengubah cara masyarakat memperoleh dan menyebarkan informasi. Di satu sisi, publik memiliki akses yang luas terhadap berbagai sumber berita; namun di sisi lain, banjir informasi ini justru menimbulkan krisis kepercayaan terhadap lembaga publik dan media arus utama. Dalam konteks inilah, peran humas pemerintah dan jurnalis menjadi sangat penting untuk bersama-sama membangun kembali kepercayaan publik di tengah arus disinformasi dan hoaks yang kian menguat. Hubungan keduanya bukan hanya sekadar hubungan kerja antara pemberi dan penyebar informasi, tetapi merupakan kemitraan strategis dalam menjaga ekosistem komunikasi publik yang sehat, transparan, dan berintegritas.
Humas pemerintah merupakan garda terdepan dalam mengelola komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Tugas utama mereka adalah menyampaikan kebijakan, program, dan capaian pemerintah secara akurat serta mudah dipahami publik. Dalam konteks krisis informasi, humas memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk memastikan bahwa setiap pesan yang disampaikan mencerminkan kebenaran dan tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Humas bukan sekadar corong pemerintah, tetapi juga mediator yang harus mendengarkan aspirasi publik dan menjembatani komunikasi dua arah antara warga dan pengambil kebijakan. Dengan demikian, keberhasilan humas tidak diukur dari seberapa sering muncul di media, melainkan dari seberapa besar kepercayaan publik terhadap pesan yang disampaikannya.
Sementara itu, jurnalis memiliki fungsi kontrol sosial yang tak kalah penting. Dalam tradisi demokrasi, media disebut sebagai “pilar keempat” yang berperan menjaga akuntabilitas kekuasaan. Jurnalis bertugas menyajikan informasi faktual, kritis, dan independen agar publik dapat mengambil keputusan secara rasional. Namun, dalam situasi di mana batas antara fakta dan opini semakin kabur, jurnalis menghadapi tantangan besar untuk tetap menjaga integritas profesinya. Tekanan dari kecepatan berita, kompetisi antarplatform, serta intervensi politik kerap membuat kualitas informasi menurun. Di sinilah sinergi antara humas pemerintah dan jurnalis menjadi kebutuhan strategis untuk memastikan informasi publik tidak kehilangan makna dan kredibilitasnya.
Hubungan antara humas dan jurnalis sering kali diwarnai dinamika yang kompleks. Di satu sisi, jurnalis membutuhkan data dan klarifikasi resmi dari humas agar pemberitaannya akurat. Di sisi lain, humas memerlukan media sebagai saluran utama penyebaran informasi kebijakan kepada publik. Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan harmonis. Ada kalanya jurnalis merasa humas terlalu tertutup atau menutupi informasi penting, sementara humas menilai jurnalis terlalu tendensius dalam menyusun berita. Ketegangan seperti ini sering kali muncul karena perbedaan paradigma kerja: humas berorientasi pada citra institusi, sementara jurnalis berorientasi pada kebenaran publik. Padahal, jika keduanya dapat menemukan titik temu yang berlandaskan etika dan profesionalisme, maka sinergi yang terbentuk akan menghasilkan ekosistem informasi yang lebih sehat dan terpercaya.
Untuk membangun kepercayaan di tengah krisis informasi, prinsip utama yang harus dipegang oleh humas pemerintah adalah transparansi. Keterbukaan informasi publik bukan hanya kewajiban hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tetapi juga menjadi fondasi moral bagi birokrasi yang ingin dipercaya masyarakat. Humas harus mampu menyediakan data dan penjelasan yang lengkap, faktual, serta mudah diakses oleh media. Di era digital, keterbukaan ini dapat diwujudkan melalui berbagai kanal komunikasi seperti website resmi, media sosial, konferensi pers, dan forum publik. Ketika masyarakat merasa pemerintah tidak menyembunyikan informasi, maka rasa percaya akan tumbuh dengan sendirinya.
Selain transparansi, kecepatan dan akurasi menjadi dua prinsip penting lainnya. Dalam situasi krisis, seperti bencana alam, pandemi, atau konflik sosial — keterlambatan informasi dapat menimbulkan kepanikan dan memperburuk keadaan. Oleh karena itu, humas harus memiliki sistem komunikasi krisis yang responsif dan terkoordinasi dengan baik. Sementara itu, jurnalis juga perlu menjaga tanggung jawab etiknya untuk tidak menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Kolaborasi yang baik antara humas dan jurnalis dapat mempercepat proses verifikasi informasi sehingga publik menerima berita yang benar, bukan sekadar cepat.
Di tengah dominasi media sosial, tantangan terbesar bagi kedua profesi ini adalah membedakan antara popularitas dan kredibilitas. Banyak informasi viral yang tidak memiliki dasar kebenaran, tetapi justru mendapat perhatian luas karena sensasional. Humas pemerintah tidak boleh terjebak pada logika keviralan, melainkan harus fokus pada substansi dan dampak informasi bagi masyarakat. Jurnalis pun harus berani menolak tekanan algoritma dan tetap memegang teguh kode etik jurnalistik. Sinergi keduanya dapat menciptakan narasi publik yang lebih konstruktif, yaitu narasi yang mendorong literasi informasi, mencegah polarisasi, dan memperkuat kohesi sosial.
Kolaborasi yang ideal antara humas dan jurnalis juga perlu dibangun melalui komunikasi interpersonal yang saling menghormati. Humas harus memahami ritme kerja media, menyediakan akses yang cepat terhadap narasumber, serta tidak alergi terhadap kritik. Sementara jurnalis perlu menghargai keterbatasan birokrasi dalam menyampaikan informasi yang bersifat rahasia atau masih dalam proses. Hubungan yang berbasis kepercayaan personal ini akan menciptakan rasa saling pengertian yang kuat. Di banyak negara, kemitraan seperti ini bahkan difasilitasi melalui forum komunikasi rutin, pelatihan bersama, dan workshop etika media untuk memperkuat kapasitas kedua pihak.
Di sisi lain, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan big data juga membawa peluang baru bagi humas dan jurnalis untuk berinovasi dalam menyampaikan informasi publik. Pemerintah dapat memanfaatkan teknologi analitik untuk memahami opini publik dan merancang strategi komunikasi yang lebih efektif, sementara jurnalis dapat menggunakan data terbuka untuk menghasilkan laporan investigatif yang berbasis bukti. Namun, kemajuan teknologi ini juga harus diimbangi dengan literasi digital yang kuat agar tidak disalahgunakan untuk manipulasi atau propaganda. Etika digital harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap langkah komunikasi publik.
Pada akhirnya, membangun kepercayaan di tengah krisis informasi bukanlah tugas satu pihak semata. Ia adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan pemerintah, media, dan masyarakat. Humas pemerintah harus terus meningkatkan profesionalismenya dengan mengedepankan prinsip keterbukaan, kejujuran, dan pelayanan publik. Sementara jurnalis harus menjaga independensinya dengan tetap berpihak pada kebenaran dan kepentingan publik. Ketika kedua pihak ini berjalan beriringan, publik akan merasakan manfaatnya secara langsung: mereka memperoleh informasi yang jernih, dapat dipercaya, dan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari.
Krisis informasi yang terjadi saat ini seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai momentum untuk memperkuat kembali nilai-nilai dasar komunikasi publik: transparansi, akuntabilitas, dan empati. Humas pemerintah dan jurnalis memiliki peran strategis dalam membangun budaya informasi yang sehat dan demokratis. Di tengah derasnya arus hoaks dan disinformasi, keduanya harus berdiri tegak sebagai penjaga kebenaran dan kepercayaan publik. Sebab, tanpa kepercayaan, tidak ada kebijakan yang akan efektif, dan tanpa informasi yang benar, tidak ada demokrasi yang akan bertahan.