Bagian 5 dari Seri “Sumbang 12” (Sumbang pakaian)
Oleh: Suci Mawaddah Warahmah, S.Sos
Sejak mula peradaban, pakaian bukan sekadar lembar kain pelindung tubuh. Ia menjelma menjadi simbol identitas, pancaran nilai, dan penjaga marwah. Dalam tatanan adat Minangkabau, busana bukan hanya urusan estetika, tapi juga etika. Di sinilah hadir sebuah panduan luhur nan bijak dalam kearifan lokal Minang Sumbang Duo Baleh, yang salah satu penopang utamanya adalah Sumbang Pakaian.
Sumbang Pakaian bukan sekadar larangan tentang apa yang tak boleh dikenakan. Ia adalah napas moral yang mengatur bagaimana seorang perempuan Minang membalut tubuhnya dengan sopan santun, rasa malu, dan penghormatan terhadap dirinya sendiri serta masyarakatnya. Dalam Sumbang 12, berpakaian bukan hanya soal “tampak luar” tetapi tentang apa yang dijaga dari dalam “harga diri, kehormatan, dan akhlak”.
Busana: Bukan Hanya Penutup, Tapi Penanda
Perempuan Minangkabau diajarkan sejak dini bahwa pakaian adalah refleksi dari isi kepala dan hati. Pakaian mencerminkan nilai. Ia adalah pernyataan tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan nilai apa yang kita junjung. Maka berpakaian yang sopan dan sesuai tuntunan syariat dan adat bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan yang menjunjung tinggi adab, iman, dan budaya.
Adat Minang secara tegas melarang perempuan berpakaian menyerupai laki-laki, kecuali dalam kondisi tertentu yang mendesak. Larangan ini bukan diskriminasi, melainkan bagian dari pelestarian identitas dan struktur sosial yang terjaga selama berabad-abad. Lebih dari itu, berpakaian yang memperlihatkan aurat dalam Islam maupun dalam adat Minang dipandang sebagai sumbang yang merusak adab pergaulan dan mengikis rasa malu, nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
Busana yang ketat, tembus pandang, atau terlalu singkat tak hanya mengundang pandangan tak senonoh, tapi juga mengaburkan batas-batas sopan santun yang dijunjung tinggi. Ia dapat menggugah syahwat, menimbulkan fitnah, dan merendahkan martabat perempuan itu sendiri. Maka berpakaian sembarangan bukan hanya pelanggaran budaya, tapi juga kemunduran dalam etika publik.
Titik Temu Adat dan Syariat
Keistimewaan masyarakat Minangkabau adalah kemampuannya menyinergikan adat dan agama. “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” pepatah ini bukan sekadar slogan, melainkan fondasi hidup yang nyata. Dalam konteks berpakaian, Al-Qur’an melalui Surah An-Nur ayat 31 dan Surah Al-Ahzab ayat 59 dengan jelas menyerukan agar perempuan menutup auratnya dan menjaga diri dari gangguan. Seruan itu digaungkan kembali oleh adat Minang dalam bentuk Sumbang Pakaian.
Dengan kata lain, adat dan agama berjalan seiring, saling menguatkan. Ketika syariat menyerukan untuk menjaga aurat, adat menegaskan kembali pentingnya rasa malu dan kesopanan sebagai pondasi beradab. Maka tidak mengherankan jika perempuan Minang dikenal anggun, terjaga, dan berwibawa, bukan karena kemewahan penampilannya, tapi karena kesantunan dalam berpakaian.
Lebih dari semua itu, yang menjadi inti dari Sumbang Pakaian adalah rasa malu. Malu bukanlah kekurangan, tapi keutamaan. Ia adalah benteng moral dan mahkota tak terlihat yang menyempurnakan akhlak perempuan. Busana yang layak, bersih, dan pantas adalah manifestasi dari rasa malu dan penghargaan terhadap diri sendiri. Malu bukan tentang mengekang, tapi tentang melindungi dan menjaga kemuliaan.
Pakaian yang baik bukan hanya yang indah dipandang, tetapi yang meneduhkan jiwa, yang menjaga pandangan orang lain, dan yang membawa ketenangan dalam pergaulan. Inilah pesan penting dari Sumbang Pakaian, bahwa keindahan perempuan bukan terletak pada apa yang ditampakkan, melainkan pada apa yang dijaga.
Menjaga Warisan, Menata Masa Depan
Di tengah arus globalisasi yang deras menggempur nilai-nilai lokal, Sumbang Pakaian hadir sebagai pengingat bahwa jati diri perempuan Minangkabau tidak boleh larut dalam euforia kebebasan yang tak berbatas. Kebebasan harus dibingkai dengan adab. Modernitas boleh dikejar, tapi nilai tidak boleh ditinggal.
Sumbang Pakaian bukanlah kekangan, melainkan pelita. Ia adalah panduan luhur untuk berjalan dengan anggun, berbicara dengan santun, dan berpakaian dengan hormat. Ia menjadikan perempuan bukan objek pandangan, melainkan subjek yang memancarkan martabat. Ketika seorang perempuan Minang berpakaian dengan penuh kesadaran keimanan dan budaya, ia sedang menyalakan api peradaban yang terhormat.
Karena itu, mari kita rawat Sumbang 12, terutama Sumbang Pakaian, sebagai warisan tak ternilai yang menyatukan adat dan agama dalam satu napas kehidupan. Mari ajarkan kepada generasi muda bahwa berpakaian adalah bagian dari ibadah, dan menjaga aurat adalah bentuk cinta kepada diri sendiri serta penghormatan kepada Sang Pencipta.
Sebab dalam setiap helai kain yang dikenakan dengan adab dan iman, terajut doa, harapan, dan kebanggaan sebagai perempuan Minangkabau yang anggun dalam penampilan, kokoh dalam prinsip.