Oleh: Yoni Syafrizal
Festival Literasi Daerah Kabupaten Pesisir Selatan 2025 bukan hanya ajang pamer karya tulis dan bacaan. Tahun ini, kegiatan tersebut menghadirkan sesuatu yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat seperti aroma kuliner tradisional yang menggugah selera.
Stand Kecamatan Airpura menjadi salah satu magnet perhatian, menampilkan berbagai pangan olahan khas daerah seperti randang lokan, tojin jagung, rakik maco, hingga madu galo-galo. Semua itu bukan sekadar makanan, tetapi wujud literasi budaya yang hidup di tengah masyarakat pesisir.
Partisipasi Kecamatan Airpura dalam festival itu bukan hanya bentuk apresiasi terhadap budaya, tetapi juga upaya memperkenalkan identitas lokal melalui literasi rasa. Festival literasi kali ini memperlihatkan bahwa membaca budaya daerah bisa dilakukan lewat rasa dan pengalaman, bukan sekadar lewat teks. Makanan tradisional menjadi bagian dari cerita budaya yang diwariskan lintas generasi.
Pesisir Selatan, yang dikenal dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah, memiliki kekayaan bahan pangan yang luar biasa. Dari hasil laut seperti lokan, ikan, hingga udang, sampai hasil kebun seperti pisang, jagung, dan kelapa, semua menjadi bahan dasar kuliner tradisional. Namun, selama ini, banyak produk lokal tersebut belum dikelola secara maksimal sebagai sumber ekonomi kreatif yang bernilai tambah.
Melalui Festival Literasi Daerah, masyarakat Airpura menunjukkan kemampuan mereka mengolah hasil alam menjadi karya yang memiliki nilai budaya sekaligus nilai ekonomi.
Misalnya, randang lokan yang berbahan dasar kerang lokan khas pesisir kini menjadi ikon kuliner yang mulai dikenal. Begitu pula tojin jagung dan pisang salai, yang memanfaatkan hasil kebun lokal tanpa meninggalkan cita rasa tradisional. Semua ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk berinovasi tanpa kehilangan akar budayanya.
Kehadiran kuliner tradisional dalam Festival Literasi Daerah memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar pameran makanan. Kuliner tradisional merupakan wujud nyata dari literasi budaya yang tumbuh di tengah masyarakat. Ketika masyarakat mengenal dan melestarikan makanan tradisional, sejatinya mereka sedang membaca nilai, sejarah, dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Setiap penganan lokal menyimpan kisah tentang kemandirian dan kebijaksanaan hidup.
Festival ini juga menjadi ajang untuk memperkuat kolaborasi antara pelestarian budaya dan peningkatan minat baca. Literasi kini dipahami secara lebih luas, tidak hanya kemampuan membaca teks, tetapi juga memahami identitas daerah, menggali potensi ekonomi kreatif, serta menulis kembali warisan budaya melalui berbagai medium, termasuk kuliner. Pendekatan ini memperkaya cara masyarakat dalam mengenal jati dirinya.
Dokumentasi kuliner sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya menjadi langkah penting bagi pemerintah dan masyarakat. Setiap nagari diharapkan mampu menulis dan merekam resep serta sejarah kuliner khasnya, agar generasi muda tidak hanya mengenal makanan cepat saji, tetapi juga memahami makna di balik kue sapik, shagun, atau rakik maco menjadi simbol kreativitas nenek moyang yang lahir dari hasil bumi sendiri.
Meski begitu, potensi besar ini memerlukan dukungan yang lebih konkret dari pemerintah. Pengembangan kuliner tradisional sebagai produk unggulan daerah membutuhkan kebijakan yang berorientasi pada pelatihan, permodalan, dan pemasaran. Literasi budaya tidak akan bertahan hanya dengan pameran sesaat, tetapi dengan membangun ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan berbasis sumber daya lokal. Di sinilah peran strategis pemerintah dan masyarakat untuk bersinergi.
Selain aspek ekonomi, pengembangan kuliner tradisional juga menyentuh sisi lingkungan. Masyarakat yang mampu mengolah hasil alam secara bijak berarti turut menjaga keberlanjutan sumber daya itu sendiri. Produk seperti madu galo-galo menunjukkan bagaimana masyarakat dapat mengelola potensi hutan tanpa merusaknya. Hal ini memperlihatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam menjadi sebuah bentuk literasi ekologis yang jarang disadari.
Festival Literasi Daerah 2025 kemudian menjadi cermin kecil dari besarnya potensi Pesisir Selatan dalam membangun kemajuan berbasis budaya. Jika setiap nagari mampu menggali dan menulis ulang identitasnya, baik dalam bentuk kuliner, kerajinan, maupun tradisi lokal, maka kabupaten ini sedang menulis bab baru dalam pembangunan yang berkelanjutan dan pembangunan yang berakar pada pengetahuan masyarakatnya sendiri.
Kegiatan yang menampilkan perpaduan antara "rasa dan aksara" itu mengingatkan bahwa literasi sejati adalah kemampuan untuk memahami diri dan lingkungan. Dari hasil alam, masyarakat belajar mencipta. Dari budaya, mereka belajar menghargai nilai. Dari kebijakan yang berpihak, lahir kesempatan untuk berkembang. Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan dukungan pemerintah inilah yang menjadi kunci agar potensi daerah tidak hanya dikenang, tetapi juga memberi manfaat nyata bagi kesejahteraan bersama.
Pesisir Selatan memiliki segalanya, laut, tanah subur, hutan, dan budaya yang kaya. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk mengolahnya dengan tidak sekadar dalam wujud makanan, tetapi juga dalam bentuk ide, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Seperti pesan yang tersirat dalam Festival Literasi itu sendiri, membaca bukan hanya soal huruf, tetapi juga tentang memahami dan mengelola kehidupan dengan penuh kesadaran.