• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

23 Oktober 2025

151 kali dibaca

Mendengar dengan Hati: Membangun Empati dalam Komunikasi

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, banyak orang pandai berbicara, tetapi sedikit yang benar-benar mau mendengarkan. Setiap hari kita dikelilingi oleh suara dari ruang kerja, percakapan keluarga, hingga media sosial. Namun, dalam derasnya arus informasi itu, kemampuan untuk mendengarkan dengan hati perlahan memudar. Padahal, seni mendengar bukan hanya tentang telinga yang terbuka, tetapi juga tentang empati yang hidup dalam diri.

Istilah empati sendiri berasal dari kata Latin em dan pathos yang berarti “merasakan ke dalam.” Sejak awal abad ke-20, para ahli psikologi memaknai empati sebagai kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain tanpa kehilangan objektivitas dirinya. Artinya, seseorang dapat “masuk” ke dalam pengalaman orang lain, namun tetap menjaga keseimbangan emosinya.

Dalam dunia pelayanan publik, kemampuan ini menjadi kunci. Seorang pelayan masyarakat bukan sekadar menyampaikan informasi atau menerima keluhan, tetapi juga berupaya memahami perasaan, kebutuhan, dan harapan warga. Komunikasi empatik menuntut kesediaan untuk hadir secara utuh mendengar dengan pikiran terbuka dan hati yang hangat. Di sinilah letak esensi komunikasi efektif: pesan tidak hanya sampai, tetapi juga dipahami dan dirasakan.

Menurut Siti Aisyah Boediarja (2009), empati bukan sekadar reaksi emosional, melainkan keterampilan sosial yang menuntut kendali diri. Tanpa pengendalian emosi, komunikasi dapat kehilangan maknanya dan berubah menjadi sekadar formalitas. Dalam konteks pelayanan publik, empati dapat meningkatkan kepuasan masyarakat, menekan keluhan, serta mengurangi potensi kesalahan dalam pengambilan keputusan.

Lebih jauh, empati tidak hanya hadir melalui kata-kata. Ia bisa lahir dari tatapan mata yang tulus, bahasa tubuh yang terbuka, atau diam yang penuh makna. Empati menyentuh sisi terdalam komunikasi: perasaan, pengetahuan, dan keyakinan seseorang terhadap situasi orang lain. Ketika kita mampu menempatkan diri pada posisi orang lain, maka percakapan berubah menjadi ruang saling memahami, bukan sekadar bertukar pendapat.

Dalam pelayanan publik, komunikasi empatik menjadi jembatan antara kebijakan dan kemanusiaan. Pejabat atau petugas yang mau mendengarkan dengan hati dapat menyampaikan kebijakan dengan lebih manusiawi. Masyarakat pun merasa dihargai, bukan sekadar menjadi objek dari sistem. Sebaliknya, ketika komunikasi dilakukan secara kaku, tanpa empati, sering kali yang muncul adalah salah paham dan konflik yang tak perlu.

Namun, tantangan komunikasi empatik kian besar di era digital. Teknologi memang memudahkan interaksi lintas jarak dan waktu, tetapi juga berisiko mengikis kepekaan sosial. Layanan daring, pesan instan, atau rapat virtual tidak selalu bisa menggantikan tatap muka yang penuh nuansa perasaan. Meski begitu, bukan berarti empati mustahil di ruang digital ia hanya butuh kesadaran lebih tinggi. Menulis pesan dengan sopan, membalas dengan sabar, atau sekadar menyimak tanpa menghakimi, adalah bentuk sederhana dari empati yang bisa kita praktikkan.

Empati bukan pula sikap pasif. Ia adalah proses aktif yang membutuhkan keberanian untuk diam, untuk memahami sebelum merespons. Dalam percakapan, sering kali kita mendengar bukan untuk memahami, tetapi untuk menyiapkan jawaban. Padahal, komunikasi sejati lahir dari keheningan yang penuh makna dari hati yang bersedia menampung cerita orang lain tanpa tergesa-gesa menilai.

Mendengar dengan empati berarti memberi ruang bagi orang lain untuk merasa aman dan diterima. Ia membangun kepercayaan, memperkuat hubungan, dan membuka jalan bagi perubahan sosial yang lebih sehat. Dalam lingkungan kerja, keluarga, maupun pelayanan publik, kemampuan ini menjadi dasar dari komunikasi yang menyembuhkan.

Pada akhirnya, empati adalah bahasa universal yang tak membutuhkan penerjemah. Ia melampaui kata, melewati batas profesi, dan menembus sekat sosial. Di tengah dunia yang semakin bising, mendengar dengan hati adalah bentuk kasih sayang paling sederhana dan mungkin, paling kita butuhkan saat ini.