• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Tantangan Hoaks dan Literasi Digital Masyarakat di Era Informasi

08 November 2025

66 kali dibaca

Tantangan Hoaks dan Literasi Digital Masyarakat di Era Informasi

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara masyarakat mengakses, menerima, dan menyebarkan informasi. Internet dan media sosial menjadi ruang terbuka yang memungkinkan setiap orang membagikan pendapat, data, hingga berita dalam waktu singkat. Kemudahan ini membawa dampak positif dalam mempercepat arus informasi, namun di sisi lain juga memunculkan tantangan besar berupa maraknya penyebaran informasi yang salah atau hoaks.

Hoaks merupakan informasi yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menyesatkan, mempengaruhi opini publik, atau menciptakan situasi tertentu demi kepentingan tertentu. Penyebaran hoaks sering kali memanfaatkan isu sensitif seperti politik, kesehatan, agama, dan keamanan. Ketika hoaks tersebar luas di masyarakat, dampaknya dapat mengganggu ketertiban umum, memicu konflik sosial, dan merusak kepercayaan terhadap institusi resmi.

Keberadaan media sosial menjadi salah satu faktor yang mempercepat penyebaran hoaks. Informasi yang muncul di lini masa sering kali dibagikan tanpa pertimbangan yang matang. Beberapa pengguna hanya membaca judul atau potongan kalimat tanpa memahami isi keseluruhan, sehingga informasi yang belum terverifikasi langsung disebarkan ke orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah sharing before reading, dan menjadi masalah serius dalam ekosistem informasi digital.

Rendahnya literasi digital turut memperkuat penyebaran hoaks. Literasi digital tidak hanya berarti kemampuan menggunakan perangkat teknologi seperti ponsel atau komputer, tetapi juga mencakup kemampuan mengolah informasi, mengenali sumber yang kredibel, serta memahami konsekuensi dari penyebaran informasi yang salah. Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan ini akan lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang provokatif dan manipulatif.

Selain itu, rendahnya budaya membaca juga menjadi penyebab hoaks mudah diterima. Banyak orang lebih tertarik pada konten yang emosional dan sensasional dibandingkan informasi yang faktual. Ketika emosi ikut terlibat, kemampuan berpikir kritis sering kali menurun, dan keputusan untuk membagikan informasi hanya didasarkan pada reaksi sesaat, bukan pada pertimbangan logis.

Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting dalam membangun kebiasaan mencari kebenaran sebelum mempercayai informasi. Pendidikan tentang etika digital dan cara memverifikasi informasi perlu diperkenalkan sejak usia dini. Anak muda sebagai pengguna internet terbesar perlu dibekali kemampuan berpikir kritis dan bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi.

Pemerintah dan lembaga terkait juga memiliki peran strategis dalam menangani penyebaran hoaks. Upaya penanggulangan dilakukan melalui literasi digital, kampanye publik, serta penyediaan layanan klarifikasi informasi seperti situs-situs pemeriksa fakta. Kerja sama antara pemerintah, media, komunitas digital, dan platform teknologi sangat dibutuhkan agar penyaringan informasi dapat berjalan lebih efektif.

Meski begitu, keberhasilan dalam memerangi hoaks sangat bergantung pada kesadaran individu sebagai pengguna internet. Setiap orang harus memiliki sikap bijak sebelum membagikan informasi, termasuk memeriksa sumber, membaca konten secara utuh, dan memastikan kebenaran data melalui referensi yang terpercaya. Dengan demikian, masyarakat tidak mudah terjebak dalam penyebaran informasi yang menyesatkan.

Membangun masyarakat yang cerdas digital merupakan tantangan sekaligus kebutuhan mendesak di era informasi. Ketika literasi digital meningkat, kualitas interaksi di ruang publik digital pun akan menjadi lebih sehat. Masyarakat akan terbiasa menghargai kebenaran, memanfaatkan teknologi secara bijak, dan berkontribusi dalam menciptakan ekosistem informasi yang aman, konstruktif, dan bermanfaat bagi semua.