Oleh Afrizal
Program Nagari Kanyang hadir membawa semangat lama ke dalam wajah baru pembangunan: menanam bersama untuk memastikan bareh (beras) tetap tersedia di rangkiang—lumbung padi tradisional masyarakat Minangkabau. Tujuannya jelas: tidak ada lagi rumah tangga yang terpaksa membeli beras akibat gagal panen, krisis ekonomi, atau bencana alam.
Selama berabad-abad, kehidupan masyarakat kampung di Minangkabau berlangsung dalam irama agraris yang tertata: musim hujan untuk menanam padi, musim kemarau untuk palawija. Hasil panen cukup untuk kebutuhan satu tahun, bahkan sering berlebih. Namun, ketika ritme itu terganggu—oleh hama, bencana, atau kebutuhan ekonomi yang mendesak—sebagian keluarga terpaksa menjual cadangan padi. Akibatnya, mereka terjerembab dalam situasi memprihatinkan: mambali bareh (membeli beras) di kampung sendiri.
Di sinilah letak persoalan. Dalam kultur Minangkabau, mambali bareh bukan sekadar soal transaksi pangan, melainkan penanda telah rapuhnya ketahanan ekonomi dan lunturnya harga diri. Ungkapan ini masih relevan hingga kini, meski struktur pekerjaan masyarakat telah bergeser dan tidak semua lagi bertani. Ia menjadi simbol nyata dari kesulitan hidup, sekaligus pengingat bahwa akses terhadap pangan adalah tolok ukur kesejahteraan.
Melalui Nagari Kanyang, pemerintah nagari dan masyarakat berupaya menanam kembali bukan hanya padi, tetapi juga nilai-nilai lama yang nyaris tergerus zaman: semangat gotong royong, kemandirian pangan, dan martabat sosial. Tanam serentak dijadikan momentum kolektif, memastikan bahwa bareh tidak akan habis sebelum musim panen berikutnya tiba.
Program ini bukan sekadar solusi pertanian, tetapi juga gerakan kebudayaan. Sawah tidak dipandang sebagai sekadar lahan produksi, tetapi sebagai ruang hidup. Beras bukan hanya komoditas, melainkan simbol martabat dan keberlanjutan warisan leluhur.
Keberhasilan Nagari Kanyang bukan diukur dari angka produksi semata, tetapi dari kenyataan bahwa masyarakat tak lagi harus membeli beras di nagarinya sendiri. Di situlah letak hakikat ketahanan pangan: bukan hanya tentang cukupnya hasil, tapi tentang harga diri dan kearifan lokal yang terus hidup dalam denyut kehidupan urang awak.<!--/data/user/0/com.samsung.android.app.notes/files/clipdata/clipdata_bodytext_250703_174529_541.sdocx-->