• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm

01 Juli 2025

105 kali dibaca

Paradoks Moral Zaman Digital

Manusia telah hidup dengan kesadaran bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian. Dalam perspektif agama, Tuhan adalah Zat yang Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Hadir. Kesadaran ini telah menjadi dasar etika moral bagi manusia, bahwa setiap tindakan sekecil apapun tercatat dalam pandangan Tuhan.

Namun, di abad ke-21, muncul pengawas baru yang bekerja tanpa istirahat dan tanpa ampun. Dia adalah teknologi digital, dimulai dari CCTV, pelacak GPS, pengenalan wajah, hingga algoritma kecerdasan buatan, telah menciptakan sistem yang mampu mengetahui kebiasaan, pergerakan, dan bahkan kecenderungan psikologis manusia. Teknologi digital hari ini menyimpan lebih banyak informasi tentang seseorang daripada keluarganya sendiri. Data yang dikumpulkan oleh teknologi ini menjadikan manusia tak ubahnya makhluk transparan di hadapan mesin.Di satu sisi, hal ini mengingatkan kita pada sifat Tuhan yang maha melihat dan maha mengetahui tapi perbedaannya sangat mendasar. Jika Tuhan melihat dengan kasih sayang dan keadilan, maka teknologi melihat dengan logika dan kepentingan. Tuhan melihat hati, niat, dan batin sedangkan teknologi hanya mampu menganalisis perilaku luar, angka, dan pola statistik. Meskipun hasilnya tampak objektif, ia tetap bergantung pada siapa yang memprogram dan mengendalikannya sehingga penuh dengan unsur kepentingan.

Fenomena ini menghadirkan paradoks spiritual dan eksistensial bahwa manusia kini lebih takut terekam kamera daripada tercatat dalam kitab Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang mungkin akan lebih waspada terhadap kamera lalu lintas dibanding ayat kitab suci. dan bisa dikatakan bahwa Teknologi telah membentuk ulang kesadaran moral kita bahwa dari "takut dosa" menjadi "takut terekam".

Sejumlah tokoh agama dan pemikir kontemporer mulai membahas bagaimana nilai-nilai illahiah bisa menjadi dasar dalam pengembangan teknologi. Prinsip keadilan, kasih sayang, dan pertanggungjawaban spiritual seharusnya diintegrasikan ke dalam sistem teknologi masa depan, terutama dalam pengembangan kecerdasan buatan dan algoritma sosial.

Berbicara tentang moralitas sebagai kewajiban yang dilakukan bukan karena takut hukuman, tapi karena kesadaran akan kebaikan itu sendiri. Inilah tantangan zaman kita yaitu bagaimana membuat manusia tetap memilih yang benar meskipun tidak ada kamera, tidak ada pengawas digital, dan tidak ada penilaian sosial. Hanya kesadaran bahwa Tuhan melihat yang mampu menciptakan moralitas sejati dalam batin manusia.

Di sisi lain, teknologi dapat menjadi perpanjangan tangan kebaikan, jika diarahkan dengan benar. Kamera dapat melindungi korban kekerasan. Algoritma dapat mendeteksi ancaman kesehatan. Sistem data dapat membantu distribusi bantuan dengan lebih adil. Dalam hal ini, teknologi bukan musuh spiritualitas, melainkan alat yang perlu dibimbing oleh etika Ketuhanan.

Namun kita tetap harus waspada. Teknologi bisa menjadi berhala baru ketika manusia lebih percaya pada data daripada hikmah, lebih patuh pada algoritma dari pada nurani. Jika kita membiarkan pengawasan teknologi menggantikan rasa yang diawasi oleh Tuhan, maka kita menciptakan dunia dingin yang kehilangan makna spiritual.

Untuk itu, penting bagi masyarakat modern untuk menumbuhkan dua jenis kesadaran, yaitu kesadaran spiritual yang tertanam dalam diri kita masing-masing bahwa Tuhan melihat dengan kasih sayang dan keadilan sedangkan kesadaran digital melihat dengan logika dan kepentingan yang terbatas.

Di dunia yang makin transparan, pertanyaan terpenting bukan hanya “Siapa yang melihat kita?”, tapi juga “Untuk siapa kita hidup dengan jujur?” Jika jawabannya adalah demi Tuhan dan demi nilai kebaikan sejati, maka baik teknologi maupun kesendirian tidak akan menggoyahkan kita karena kita akan tetap menjadi manusia yang utuh, jujur dalam sunyi, dan lurus dalam keramaian.