• info@pesisirselatan.go.id
  • Hours: Mon-Fri: 8am – 4pm
Personalization of Everything: Masa Depan Komunikasi Publik yang Tersegmentasi dan Dampaknya pada Kohesi Sosial

24 Oktober 2025

85 kali dibaca

Personalization of Everything: Masa Depan Komunikasi Publik yang Tersegmentasi dan Dampaknya pada Kohesi Sosial

Era digital telah membawa manusia ke dalam fase baru komunikasi publik yang semakin personal dan terarah. Melalui kemajuan teknologi big data, kecerdasan buatan, dan algoritma media sosial, setiap individu kini menerima pesan, informasi, dan iklan yang disesuaikan dengan preferensi pribadi. Fenomena ini dikenal dengan istilah personalization of everything, personalisasi terhadap hampir seluruh aspek kehidupan digital, mulai dari berita, hiburan, hingga komunikasi politik. Dalam konteks komunikasi publik, personalisasi ini membawa dua wajah yang saling bertentangan: di satu sisi ia menjanjikan relevansi dan efisiensi informasi, namun di sisi lain menimbulkan fragmentasi sosial yang dapat menggerus kohesi masyarakat.

Pada dasarnya, personalisasi muncul sebagai respons terhadap ledakan informasi di era digital. Setiap detik, jutaan konten diproduksi dan disebarkan, membuat manusia kesulitan memilah mana yang penting bagi mereka. Teknologi kemudian menawarkan solusi: algoritma yang mampu mempelajari perilaku pengguna, merekam preferensi, dan menyesuaikan konten yang ditampilkan. Hasilnya, setiap individu mendapatkan “realitas informasi” yang unik dan relevan dengan minat pribadinya. Dalam dunia jurnalisme dan komunikasi publik, personalisasi ini memberikan efisiensi luar biasa pesan menjadi lebih tepat sasaran, partisipasi publik meningkat, dan komunikasi terasa lebih manusiawi karena disesuaikan dengan kebutuhan psikologis audiens.

Namun, di balik kenyamanan tersebut, muncul risiko serius terhadap kohesi sosial. Ketika setiap orang hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangan dan preferensinya, ruang publik digital berubah menjadi kumpulan “gelembung informasi” yang terisolasi satu sama lain. Fenomena ini dikenal sebagai filter bubble atau echo chamber, di mana individu hanya terekspos pada pandangan yang memperkuat keyakinannya sendiri, tanpa kesempatan untuk memahami sudut pandang berbeda. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan polarisasi sosial yang tajam, menurunkan toleransi, dan melemahkan kemampuan masyarakat untuk berdialog secara sehat.

Dalam konteks komunikasi publik, personalisasi juga mengubah cara lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat, dan media massa berinteraksi dengan publik. Dulu, komunikasi publik bersifat massal satu pesan untuk semua orang. Kini, komunikasi menjadi hiper-segmentasi, dengan strategi pesan yang berbeda untuk setiap kelompok sasaran. Pemerintah, misalnya, dapat menggunakan data demografis dan perilaku digital untuk mengirimkan pesan kebijakan yang disesuaikan bagi generasi muda, petani, pelajar, atau wirausaha. Efeknya memang signifikan: partisipasi publik meningkat karena pesan terasa lebih relevan. Namun di sisi lain, masyarakat kehilangan narasi kolektif yang mempersatukan.

Personalisasi yang berlebihan dapat menciptakan “komunikasi publik tanpa publik”. Artinya, setiap individu merasa menjadi bagian dari percakapan sosial, tetapi sebenarnya hanya berinteraksi dengan versi dunia yang telah difilter oleh algoritma. Dalam situasi seperti ini, ruang publik sebagai tempat bertemunya berbagai pandangan dan nilai menjadi terfragmentasi. Demokrasi deliberatif yang bergantung pada diskusi terbuka dan pemahaman lintas perbedaan berisiko melemah. Komunikasi publik kehilangan fungsi utamanya sebagai perekat sosial yang membangun kesadaran bersama.

Di bidang jurnalisme, personalisasi membawa perubahan mendalam terhadap praktik dan etika profesi. Media digital kini berlomba menyajikan berita yang disesuaikan dengan profil psikografis pembacanya. Mesin rekomendasi berita memprediksi topik apa yang paling menarik, sementara algoritma media sosial menampilkan konten yang berpotensi menimbulkan keterlibatan emosional. Akibatnya, berita yang muncul di linimasa seseorang mungkin sangat berbeda dari berita yang dilihat orang lain. Hal ini menciptakan ilusi bahwa kebenaran bersifat relatif, tergantung pada algoritma yang menampilkannya. Padahal, dalam jurnalisme sejati, kebenaran adalah nilai yang universal.

Dampak sosial dari personalization of everything tidak hanya dirasakan dalam politik dan media, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketika komunikasi personal menjadi norma, individu cenderung memprioritaskan pengalaman dan pandangan pribadinya dibandingkan nilai-nilai komunal. Budaya digital yang berbasis personalisasi mendorong lahirnya “masyarakat algoritmik”, sebuah masyarakat di mana hubungan sosial dimediasi oleh logika teknologi yang menempatkan kenyamanan individu di atas kepentingan bersama. Dalam jangka panjang, fenomena ini berpotensi melemahkan rasa solidaritas dan empati sosial, karena orang menjadi terbiasa hidup dalam realitas yang disesuaikan untuk dirinya sendiri.

Meskipun demikian, personalisasi tidak selalu membawa dampak negatif. Dalam konteks tertentu, ia justru dapat menjadi alat untuk memperkuat efektivitas komunikasi publik. Contohnya, dalam kampanye kesehatan masyarakat, pesan yang disesuaikan dengan karakteristik penerima (usia, gender, gaya hidup) terbukti lebih efektif mengubah perilaku dibandingkan pesan massal. Personalisasi juga dapat membantu memperkuat inklusi sosial dengan menghadirkan pesan yang peka terhadap perbedaan budaya, bahasa, dan kebutuhan kelompok rentan. Artinya, tantangan utama bukan pada teknologi personalisasi itu sendiri, tetapi pada bagaimana manusia menggunakannya secara etis dan bertanggung jawab.

Untuk menjaga kohesi sosial di tengah era personalisasi ekstrem, diperlukan strategi komunikasi publik yang menyeimbangkan relevansi dan kebersamaan. Pemerintah, media, dan lembaga sosial perlu membangun ruang komunikasi yang tidak hanya menyesuaikan pesan dengan individu, tetapi juga menciptakan narasi kolektif yang mengikat masyarakat secara emosional. Misalnya, kampanye kebangsaan atau solidaritas sosial dapat dikemas dalam bentuk interaktif yang tetap personal namun menumbuhkan rasa kebersamaan. Dalam hal ini, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat koneksi sosial, bukan memperlemahkannya.

Selain itu, literasi digital menjadi kunci penting dalam menghadapi dampak negatif personalisasi. Masyarakat perlu memahami bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana data mereka digunakan dalam membentuk realitas digital. Kesadaran kritis ini akan membantu individu untuk tidak sepenuhnya menyerahkan kendali persepsi kepada mesin. Pendidikan literasi digital di sekolah, komunitas, dan media massa harus diarahkan untuk membangun kemampuan reflektif: agar warga tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga pengelola kesadarannya sendiri.

Secara normatif, lembaga penyedia layanan digital juga harus mengambil tanggung jawab etis dalam merancang sistem personalisasi. Transparansi algoritma, pengendalian data pribadi, dan penyediaan opsi untuk keluar dari sistem rekomendasi (opt-out system) menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial. Regulasi publik perlu diarahkan bukan untuk menghambat inovasi, melainkan memastikan bahwa inovasi tersebut tetap berpihak pada nilai kemanusiaan dan kohesi sosial.

Ke depan, komunikasi publik akan semakin kompleks, dengan batas antara ruang pribadi dan ruang sosial yang semakin kabur. Tantangannya bukan lagi bagaimana membuat pesan sampai ke individu, tetapi bagaimana memastikan setiap individu tetap merasa bagian dari komunitas yang lebih besar. Personalization of everything harus dimaknai bukan sebagai fragmentasi total, melainkan sebagai evolusi menuju komunikasi yang lebih manusiawi—di mana keberagaman pandangan diakomodasi tanpa mengorbankan rasa kebersamaan.

Pada akhirnya, masa depan komunikasi publik bergantung pada kemampuan kita menjaga keseimbangan antara personalisasi dan solidaritas. Teknologi dapat memisahkan atau mempersatukan, tergantung pada nilai yang kita tanamkan di dalamnya. Di tengah derasnya arus informasi yang semakin personal, tugas terbesar manusia modern adalah membangun jembatan bukan tembok antara perbedaan. Hanya dengan begitu, masyarakat digital dapat tumbuh sebagai komunitas yang cerdas, inklusif, dan tetap kohesif dalam keberagamannya.